Rabu, November 26, 2008

BULAN OKTOBER YANG MALANG


Bulan Oktober 2008 adalah bulan yang malang bagi saya. Betapa tidak! Saya tidak membawa gaji ke rumah, karena seluruh sisa gaji yang sebulan-bulannya saya bawa pulang dipotong pajak.


Ya, hampir seluruh sisa gaji saya bulan September dipotong pajak.

Gaji saya seharusnya cukup. Tetapi karena saya banyak hutang, maka sebagian besar dari gaji saya untuk mencicil hutang. Walaupun begitu, semua itu bukan tanpa hitungan, bukan sekedar ngawur. Sebesar-besarnya hutang saya, take home pay saya masih ada dua setengah juta rupiah. Itu adalah hasil perhitungan saya bersama istri. Dicukup-cukupkan toh cukup juga.

Betapa malangnya nasib saya, karena pada gaji bulan September 2008 itu potongan pajak saya sebesar Rp. 2.183.687,- (dua juta seratus delapan puluh tiga ribu enam ratus delapan puluh tujuh Rupiah). Akibatnya pada bulan Oktober 2008 ekonomi rumah tangga saya sungguh kocar-kacir. Hidup saya hanya bergantung pada kebaikan teman yang masih percaya pada saya.

Pertama-tama temen-temen saya tidak percaya bahwa saya mau pinjam uang untuk makan. Baru setelah saya jelaskan, mereka maklum dan lalu meminjamkan uang sekedarnya untuk saya. Syukur pada Allah, saya bisa bertahan sampai gajian bulan Oktober dengan selamat. Sekarang, telah sampai akhir bulan November, pengaruh hutang saya pada bulan Oktober masih terasa, tetapi tinggal sedikit. Dan pada gajian bulan November ini saya bisa membawa lagi gaji normal. Istri saya tersenyum sambil tak henti-hentinya mengucap syukur.

Memang sempat ada harapan, bahwa pajak akan dikembalikan, untuk dipotong sedikit demi sedikit tiap bulannya. Ada sebagian kecil karyawan (hanya sebagian kecil) yang menolak kebijakan pemotongan pajak yang sekaligus besar itu. Walaupun kelihatannya di milis ramai menolak kebijakan itu, namun yang secara resmi menulis surat keberatan hanya unit BAAK dan
Fakultas Hukum. Sampai akhir bulan Oktober ada jawaban bahwa harapan itu bernilai NOL.

Selama hampir 30 tahun bekerja di Unpar, baru kali ini saya tidak gajian. Rasanya repot sekali. Bila ingat kesitu, hati terasa teriris-iris. Tak henti-hentinya saya menyalahkan diri, karena banyak hutang. Tetapi pimpinan kok tega sekali kepada karyawannya.

Ada seorang teman mengatakan, bahwa selama kebijakan itu berlaku untuk semua orang, tidak jadi masalah. Mudah-mudahan teman saya itu tidak mengalami nasib seburuk yang saya alami. Biarlah pengalaman ini menjadi pil pahit hanya dalam hidup saya.

Teman-teman, bila suatu saat memiliki jabatan atau dekat dengan pengambil keputusan, tolong bisikkan kata kepada mereka: “jangan semena-mena terhadap rakyat kecil, sebab mereka bisa bikin kualat...”

Salam, isn@r

Sabtu, November 22, 2008

Jam Kerja

Pada tahun 1980, saya melamar pekerjaan ke Unpar. Jauh sebelum saya mendapat panggilan secara resmi dari Unpar, terlebih dahulu saya dipanggil oleh Pater Frans Vermeulen, OSC. Saya menghadap beliau di Jl. Sultan Agung No. 2. Di sanalah saya diberi nasehat dan macam-macam pesan serta pelajaran:


  1. Apabila kamu kerja di Unpar, kamu harus bertahan duduk di kursi pada meja kerjamu. Jangan banyak berjalan-jalan keluar dari tempat dudukmu.
  2. Kamu hanya diwajibkan bekerja di kantor selama 36 jam per minggu, karena itulah maka sehari-harinya kamu diwajibkan bekerja dari hari Senin sampai dengan hari Sabtu selama 5-6 jam, agar masih memiliki waktu leluasa untuk bisa mengembangkan diri kamu di luar jam kerja terebut.
  3. Kamu harus mengisi waktu di luar jam kerja dengan sebaik-baiknya. Kamu bisa mengikuti kegiatan gerejani, kegiatan sosial kemasyarakatan dan macam-macam kegiatan olah raga, baik di lingkungan Unpar maupun di luar Unpar. Kegiatan-kegiatanmu itu akan mendewasakan diri kamu, dan akan membawa pengaruh positif pada pekerjaan kamu. Oleh karena itu keaktifanmu di masyarakat akan sangat dinilai sebagai konduite kamu di Unpar.

Beberapa bulan setelah saya bekerja di Unpar , saya bertemu dengan Pastor Roijakers, OSC. Beliau langsung menanyakan apakah saya mempunyai penyakit bisul atau tidak selama bekerja di Unpar. Pada awalnya saya bingung dengan pertanyaan itu, tetapi setelah beliau menjelaskan bahwa penyakit bisul sering menghinggapi karyawan Unpar sehingga mereka tidak tahan duduk di meja kerjanya, barulah saya mengerti apa yang dimaksudkan.

Di situ saya diberitahu mengapa jam kerja Unpar hanya sampai pk.14.00.

Unpar bukanlah pabrik yang mengejar keuntungan finansial, katanya. Maka jam kerja Unpar dibatasi hanya 36 jam seminggu. Seperti Pater Vermeulen, beliau juga menegaskan agar saya dapat mengisi waktu di luar jam kerja untuk kegiatan2 kemanusiaan-kemasyarakatan. “...Waktumu di Unpar hanya setengah hari. Masih ada waktu banyak untuk pengembangan pribadi di luar itu...”


Pada tahun 1985, di dapur FISP, saya bersama Pak Warya (alm) menemani Mgr. Geise, OFM (alm) minum kopi. Katika itu Mgr. Geise menanyakan kepada saya mengapa pk. 17.00 masih di kampus. Setelah mendengar jawaban saya bahwa saya baru saja selesai kursus komputer di PUSKOM, Mgr. mengangguk-angguk sambil menyatakan bahwa : “Tepat sekali, itulah mengapa jam kerja di Unpar hanya sampai jam 14.00, tidak lain agar kalian bisa mengembangkan diri seperti itu. Ya...ya..ya...”katanya kelihatan puas.


Sekarang jaman sudah berubah. Manusia sekarang mengejar uang jika dapat 24 jam sehari! Tidak ada waktu untuk yang lain-lain, yang penting produktifitas harus setinggi-tingginya. Hari Senin sampai Jumat tenaga dihabiskan di kantor. Di keluarga sekalipun tidak kebagian waktu dimana kondisi tubuh masih segar. Hari Sabtu dan Minggu libur di kantor, tapi hari itulah kesempatan untuk mencari uang sebanyak mungkin.


Barangkali saya termasuk orang yang beruntung dan harus bersyukur bisa hidup dan menyaksikan 2 jaman yang sama sekali berbeda!

Kamis, November 13, 2008

Bajingan Tengik

  • Pengabdianku pada institusi ini yang sudah 28 tahun
  • Kantorku adalah rumahku yang kedua, tidak jarang justru menjadi rumah pertama, karena waktu di kantor lebih banyak daripada waktu di rumah.
  • Jarak rumah ke kantor yang hanya 7 menit berjalan-kaki, 3 menit dengan sepeda motor
  • Di rumah tidak memiliki garasi
  • Sama-sama katolik
  • Mengapa tega memakan teman sendiri?
  • Ini sudah sangat keterlaluan
  • Dan sangat tidak berperikemanusiaan
  • Teganya menyengsarakan teman sendiri
  • Sangat menjilati pantat pimpinan demi sebuah jabatan

Itulah maka saya beri judul tulisan pertamaku ini: "Bajingan Tengik"
Sudah bajingan, bau'nya tengik
jadi untuk apa lagi selain dibuang?

salam