Bulan Oktober 2008 adalah bulan yang malang bagi saya. Betapa tidak! Saya tidak membawa gaji ke rumah, karena seluruh sisa gaji yang sebulan-bulannya saya bawa pulang dipotong pajak.
Ya, hampir seluruh sisa gaji saya bulan September dipotong pajak.
Gaji saya seharusnya cukup. Tetapi karena saya banyak hutang, maka sebagian besar dari gaji saya untuk mencicil hutang. Walaupun begitu, semua itu bukan tanpa hitungan, bukan sekedar ngawur. Sebesar-besarnya hutang saya, take home pay saya masih ada dua setengah juta rupiah. Itu adalah hasil perhitungan saya bersama istri. Dicukup-cukupkan toh cukup juga.
Betapa malangnya nasib saya, karena pada gaji bulan September 2008 itu potongan pajak saya sebesar Rp. 2.183.687,- (dua juta seratus delapan puluh tiga ribu enam ratus delapan puluh tujuh Rupiah). Akibatnya pada bulan Oktober 2008 ekonomi rumah tangga saya sungguh kocar-kacir. Hidup saya hanya bergantung pada kebaikan teman yang masih percaya pada saya.
Pertama-tama temen-temen saya tidak percaya bahwa saya mau pinjam uang untuk makan. Baru setelah saya jelaskan, mereka maklum dan lalu meminjamkan uang sekedarnya untuk saya. Syukur pada Allah, saya bisa bertahan sampai gajian bulan Oktober dengan selamat. Sekarang, telah sampai akhir bulan November, pengaruh hutang saya pada bulan Oktober masih terasa, tetapi tinggal sedikit. Dan pada gajian bulan November ini saya bisa membawa lagi gaji normal. Istri saya tersenyum sambil tak henti-hentinya mengucap syukur.
Memang sempat ada harapan, bahwa pajak akan dikembalikan, untuk dipotong sedikit demi sedikit tiap bulannya. Ada sebagian kecil karyawan (hanya sebagian kecil) yang menolak kebijakan pemotongan pajak yang sekaligus besar itu. Walaupun kelihatannya di milis ramai menolak kebijakan itu, namun yang secara resmi menulis surat keberatan hanya unit BAAK dan
Fakultas Hukum. Sampai akhir bulan Oktober ada jawaban bahwa harapan itu bernilai NOL.
Selama hampir 30 tahun bekerja di Unpar, baru kali ini saya tidak gajian. Rasanya repot sekali. Bila ingat kesitu, hati terasa teriris-iris. Tak henti-hentinya saya menyalahkan diri, karena banyak hutang. Tetapi pimpinan kok tega sekali kepada karyawannya.
Ada seorang teman mengatakan, bahwa selama kebijakan itu berlaku untuk semua orang, tidak jadi masalah. Mudah-mudahan teman saya itu tidak mengalami nasib seburuk yang saya alami. Biarlah pengalaman ini menjadi pil pahit hanya dalam hidup saya.
Teman-teman, bila suatu saat memiliki jabatan atau dekat dengan pengambil keputusan, tolong bisikkan kata kepada mereka: “jangan semena-mena terhadap rakyat kecil, sebab mereka bisa bikin kualat...”
Salam, isn@r