Selasa, Desember 22, 2009

Rizma Amalia

(Pada malam pertama libur akhir tahun ini, tiba-tiba aku teringat padanya)

Ada 2 orang gadis, dua-duanya bernama Rizma Amalia. Rizma yang pertama adalah seorang gadis, alumnus Ekonomi Pembangunan Unpar. Ia cantik, luwes, ramah dan pinter. Orang-orang tata usaha Fakultas Ekonomi memanggilnya sebagai Iteung. Beberapa tahun terakhir menjelang lulus, ia membantu Panitia Penerimaan Mahasiswa Baru, Seksi Pendaftaran.

Gadis kedua, namanya juga Rizma Amalia. Jangankan lulus sarjana, Taman Kanak-kanak pun belum! Umurnya baru 3 tahun kurang dikit. Ia lahir prematur, dan selama 3 bulan pertama harus menginap di Rumah Sakit. Ia juga gampang sakit. Sebentar-sebentar sakit. Setiap Rizma sakit, Kang Dede, ayah gadis ini, meminta surat pengantar berobat ke Rumah Sakit Borromeus.

Sekarang, bila Rizma kecil sakit, Kang Dede hanya bisa menangis. Kira-kira pada bulan Agustus 2009, Kang Dede diepecat dari tempat kerjanya. Jadi ia tidak pernah bisa lagi minta surat pengantar untuk membawa anaknya ke rumah sakit. Ia tak punya uang untuk pengobatan anaknya. Pinjaman ke saya sebelum dipecat pun saya relakan untuk tidak dikembalikan, karena saya tahu, ia tidak bakal bisa membayarnya.

Dede telah dipecat. Ia mendapat hak uang pesangon kurang lebih 38 juta, tetapi dipotong langsung oleh koprasi, sehingga ia tidak bisa membawa pulang pesangon itu. Sekedar catatan pengeluaran untuk laporan kepada isterinya pun ia tidak mendapatkannya.

Memecat seseorang, apalagi orang kecil seperti Dede, gampang sekali. Dan Ia bangga sekali bisa memecat anak buahnya. Konduitenya naik drastis. Reputasinya hebat. Ia tidak sadar, bahwa ia telah membunuh 4 jiwa sekaligus: Dede, isterinya, dan 2 anaknya, termasuk Rizma kecil yang sakit-sakitan.

Tidak perlu diajar-ajarkan, tugas seorang pimpinan itu apa. Yang jelas, tugasnya PASTI bukan untuk memecat anak buahnya. Sebaliknya, ia harus melindungi mereka. Jika Anda dewasa dan normal-wajar, naluri sebagai pimpinan secara otomatis akan mengikuti Anda: tugas pimpinan pasti bukan untuk membunuh dan membunuh!

Sabtu, Oktober 31, 2009

Masih buat Pst. H. Kartono, OSC

Kata Akhir

Doa syukur dan terimakasih, ucapan selamat dan bahagia, harapan dan doa, bertaburan disekeliling Pastor Heri Kartono, OSC. akhir-akhir ini, di sekitar tanggal 15 Agustus 2009.

Maafkan kami Mo, karena sudah menghujani Romo dengan ucapan dan doa seperti pada halaman-halaman depan buku ini. Kami tidak tahu berat-ringannya perjuangan Romo selama 25 tahun ini. Hanya Romo dan Tuhan saja yang mengetahuinya. Kami sering terjebak untuk mengkultuskan seseorang, terutama bilai tu seorang pastor. Ini semua bukan maksud kami untuk mengesampingkan pergulatan Romo yang luar biasa terhadap apa yang disebut sebagai panggilan.

Kami cuma bisa melahirkan kabahagiaan kami melalui ucapan-ucapan itu semua. Hanya itu…hanya itu..

Hidup menjadi ringan, karena homo ludens Pastor Heri. Bila hidup kami stress dan tegang, kaku dan beku, menjadi lega dan cair bila bertemu dengan Romo. Biasanya kami diajak menari, jiwa kami dipermainkan semaunya sendiri. Dan setelah itu biasanya kami bisa tersenyum lagi…. Terima kasih ya Mo…

Singkatnya kami semua menikmati Kristus melalui hidup Romo. Tuhan benar-benar lewat dan singgah dalam hidup kami, melalui pergaulan kami dengan Romo Heri. Ini yang penting. Dan ini cukuplah. Sebab hidup kami menjadi sebuah anugerah bila beriringan dengan-Nya. Jadi, Kristuslah yang hidup dalam diri kami, bukan diri kami sendiri!

Akhir kata, bertepatan dengan tahun imam pula kami hanya bisa lambungkan doa singkat kami, berulang-ulang, seperti biasanya sampai kami tertidur:

“Bapa yang maha kasih,
Tariklah Pastor Heri ke dalam pelukanMu, bila nikmat dunia menggoda.

Hiburlah dia, ketika ia merasa sendiri dan sepi,
ketika ia mengalami susah dan derita,
dan bila pengorbanannya nampak sia-sia.

Dekaplah dia senantiasa,
karena walaupun ia telah Kau anugerahi panggilan ilahi,
namun ia toh tetap memiliki hati insani dengan segala kerapuhan manusiawi.

Semoga setiap hari pikiran dan perbuatannya aman terjaga
dan menjadi teladan indah bagi seluruh umat kesayangan-Mu”.

Amin.

salam,
isnar@home.unpar.ac.id

Sabtu, Oktober 24, 2009

Sejenak Bersama PST. HERIBERTUS KARTONO, OSC

Selama tiga tahun pertama hidup membiara, saya bersama-sama dengan Fr. H. Kartono. Hidup sekamar selama satu tahun, dan pada waktu itu bertugasbersama sebagai koster.

Pengalaman sebagai koster.
Setiap hari Rabu kami libur, tidak kuliah. Hari itu kami pakai untuk membersihkan kapel. Sambil menyapu dan mengepel lantai Pst. Kartono selalu menyetel kaset melalui player pada organ. Yang didengarkan adalah pelajaran Bahasa Sunda. Menghafalkan 3 tingkatan bahasa, bahasa kasar, menengah dan bahasa halus. Tidak heran jika Pak Sabda, dosen bahasa Sunda, sangat menyukainya.

Liburan akhir tahun saya ikut Frater ini ke Brebes, tempat orang tuanya. Kesan pertama saya adalah: keluarga sederhana tetapi harmonis. Anak-anak terhadap orang tua bicara dalam bahasa jawa yang halus. Bahkan ada seorang cucu yang belum sekolah pun sudah pandai sekali bicara dalam bahasa jawa yang halus. Karena setiap liburan saya ikut ke Brebes, lama-kelamaan Bapak dan Ibu Bambang sudah menganggap saya juga sebagai anak sendiri.

Pak Bambang sering menulis surat untuk saya. Diketik sendiri dan diposkan sendiri oleh beliau. Bahkan sewaktu sudah sakit pun, Bapak mengetik surat dengan satu tangan untuk saya. Pada surat-surat itu beliau selalu menumpahkan segala perasaan beliau terhadap anaknya yang meniti panggilannya sebagai seorang calon pastor. Bapak bangga sekali pada Fr. Kartono, dan tidak sejenak-pun melupakannya bila berdoa. Kadang-kadang saya merasa iri, karena Frater Kartono selalu didoakan oleh Bapak dan Ibunya, sedangkan tidak demikian dengan orang tua saya.

Pengalaman di sekolah.
Seingat saya, Fr. Heri Kartono adalah mahasiswa yang paling baik IP-nya dibandingkan dengan kami teman-teman seangkatannya. Selagi kami mati-matian belajar bahasa latin, ia belajar matakuliah lainnya, karena ia sudah tidak perlu menempuh matakuliah itu. Dan pada waktu kami belajar matakuliah pokok, ia malah belajar Bahasa Belanda, padahal tidak ada matakuliah itu! Pada awal-awal kuliahpun Fr. Kartono sudah menguasai Bahasa Inggris dan Perancis (di samping Bahasa Jawa dan Sunda..he..he..).

Pada suatu ketika Pst. Kartono dikursuskan main organ. Saya salut karena kursus baru beberapa kali pertemuan saja ia telah bisa dan berani mengiringi doa-doa dan misa harian. Jari-jarinya besar-besar dan pendek, tetapi bisa cepat menyesuaika diri dengan tuts-tuts organ.

Di rumah (biara), seangkatan kami hanya 3 orang. Kalau ada tugas yang kebetulan per angkatan, kami serahkan saja pengerjaannya kepada Fr. Kartono. Tugas membuat doa , tugas memimpin doa, kami sepakat dialah yang membuat dan membawakannya. Sorry ya Mo...

Dalam pergaulan.
Untuk pertama kalinya saya mengenal permaian kartu bridge ya dari Pst. Kartono. Saya diajari karena ingin main seperti teman2 dari ITB, UNPAD, IKIP yang bermain kartu setelah misa hari minggu. Saya baru menyadari bahwa permainan itu bisa menambah pergaulan dengan sesama mahasiswa di Gema. Dan memang benar, Fr. Kartono sangat luwes dalam bergaul. Bahkan menonton pertandingan karate di gelora pun sering kami lakukan.

Pokoknya pastor kita yang satu ini sangat luwes dan pandai bergaul. Ia juga pinter melucu dengan mimik wajah yang sangat tenang. Ia sangat lucu tapi bisa tanpa ekspresi. Kadang-kadang saya jengkel karena saya ajak bicara serius, tetapi jawabanya malah sangat lucu.

Saya kira kelucuannya akan semakin bertambah dengan dilewatinya pesta perak imamatnya ini. Kita baca tulisannya di blog. Segar, lucu, tapi juga sangat menambah wawasan bagi pembacanya. Saking lucunya sering saya tertawa sendiri di depan komputer sampai teman sekantor mengira saya sudah sinting.

Selamat pesta perak Mo, .
Semoga Allah melindungimu selalu,
sebab dirimu adalah milik-Nya semata!
Biarlah hidupmu terbakar luluh di atas altar-Nya yang suci.,
sebab dirimu telah disucikan dan menyucikan diri bagi-Nya.

salam,
isnar@home.unpar.ac.id

Sabtu, Agustus 15, 2009

CCTV

Sudah 1 minggu ini di setiap sudut kampus terpasang CCTV. Bagus! Sudah sejak tahun 1993, sejak Gedung Rektorat (Gedung 0) difungsikan, rencana pemasangan CCTV sudah dibuat. Yayasan pun secara informal sudah menyetujuinya. Justru ide awalnya dari salah satu pimpinan yayasan.

CCTV sangat besar manfaatnya, terutama dalam segi keamanan. Baik keamanan barang-barang inventaris terhadap pencurian, maupun keamanan terhadap ancaman orang iseng terlebih terhadap terorisme.

CCTV juga bisa menggantikan pengawasan oleh tenaga keamanan. Camera dengan sudut pandang 600 itu tidak dapat menipu. Ia akan menangkap apa saja, apa adanya. Konon katanya dengan sinar sebatang liling saja sudah cukup merekam gambar full color utuh. Jika dalam keadaan gelap gulita masih mampu merekam gambar hitam-putih dengan resolusi yang sangat tinggi.
Barangkali dengan adanya CCTV, tenaga Satpam dapat dikurangi hingga 50%!


Kantorku memang kaya. Tetapi kekayaannya dipakai untuk hal yang belum perlu. Itu kalau dilihat dari manfaat CCTV yang baru dipasang tidak sebanding dengan kebutuhan “mendesak” yang lainnya. Mengapa begitu?

Fasilitas begitu minimnya. Sejak berdirinya, Gedung Serba Guna adalah satu-satunya fasilitas kemahasiswaan yang dimilikinya. Dari penerimaan mahasiswa baru, proses selama masa studi mahasiswa, sampai pelepasan para sarjananya dilakukan di situ. Tidak ada tempat lain. Kegiatan mahasiswa, yang kini memiliki 27 unit, semuanya berjejal rebutan tempat itu. Belum himpunan mahasiswa program studi. Pada tahun 2003 saja, menurut catatan kami rata-rata ada 3 kegiatan setiap harinya. Belum termasuk kegiatan resmi oleh universitas.

Tempat parkir kendaraan, baik roda dua maupun roda empat. Lahan yang sudah sangat tidak memadai untuk mewadahi kebutuhan parkir mahasiswa. Lihat, di depan pintu masuk Fakultas Hukum, sering dipakai oleh mahasiswa untuk memarkir motor. Tidak jarang juga, pimpinan fakultas marah dan menegur Satpam, dst....dst...

Sudah pantaskah CCTV dimiliki sekarang dilihat dari minimnya fasilitas kemahasiswaan?

Sisi lainnya

Belum lagi sisi lain dari pengadaan CCTV itu, yang antara lain untuk merekam kegiatan mahasiswa yang dapat disodorkan sebagai bukti kepada pimpinan universitas. Dilandasi oleh kejengkelan karena pengaduan kepada pimpinan universitas gagal kerena tanpa bukti, maka alat ini diharapkan dapat digunakan sebagai “balas dendam”akan pengalaman pahit masa lalu.

Kedua, ada beberapa karyawan yang membandel tetap menginapkan kendaraannya di basement gedung rektorat. Surat peringatan keras sudah dilayangkan beberapa kali, tetapi orang-orang tetap menginapkan mobilnya di kampus. Merasa sebagai pimpinan tidak digubris, ia memerlukan alat canggih CCTV untuk merekamnya dan untuk menghancurkan teman-temannya sendiri yang membandel itu. Tunggu saja tanggal mainnya!!!

Masih ada lagi yang ingin dipelototin oleh camera itu, yakni siapa yang terlambat masuk kantor, siapa yang pergi di luar waktu istirahat, dan siapa yang pulang sebelum waktunya.

CCTV menjadi senjata yang sama tajam di kedua sisinya.
Gusti nyuwun kawelasan, Sang Kristus nyuwun kawelasan.
Amin.

usm3, 26 juli 2009 pk. 17.00

Minggu, Juli 26, 2009

KEKAKUAN

Hari itu, Kamis, 16 Juli 2009, akhirnya ia kembali mengikuti kursus TOEFL lagi seperti biasanya.
Padahal sehari sebelumnya sudah patah semangat, karena mendapat jawaban bahwa “tidak diperkenankan melanjutkan kursus karena sudah 4 (empat) kali tidak masuk”.

Itu peraturannya. Peraturan yang dibuat oleh manusia. Manusia yang harusnya luwes, tidak kaku. Dengan alasan yang tidak dibuat-buat, bahwa tidak masuk selama 4 kali karena menderita sakit demam berdarah (DB) dan harus opname di rumah sakit, peraturan itu bisa dikendorkan.

Jawaban sehari sebelumnya “tidak boleh melanjutkan kursus dengan alasan apapun juga” sungguh amat kaku. Sangat berbahaya. Lebih-lebih penolakan itu dilakukan oleh tenaga penunjang universitas yang masih muda belia. Nasib lembaga ini kelak ada di tangan mereka. Bagaimana jadinya bila mereka yang bakal mengemban dan mengiringi kebesaran Unpar bersifat sekaku itu.

Pikiran positif saja: kelak bila umur sudah menuju dewasa, mereka akan menjadi bijaksana. Mereka kini masih kanak-kanak. Mereka masih kaku. Walaupun ini sangat berbahaya, tetapi mudah-mudahan setiap mahasiswa bisa lebih memaklumi dan segera mengambil langkah yang lebih tepat dengan langsung menghadap kepada pimpinannya.

Sang dosen sendiri juga ternyata amat bijaksana. Bahkan mahasiswa yang masih sakit pun pada absensinya sudah diberi tanda olehnya. Kita sebagai pelaksana hendaknya tidak berlaku terlalu kaku. Lihat dulu alasannya. Jangan dilihat siapa yang mengatakan, tetapi dengarlah apa yang dikatakannya. Menghargai orang lain adalah tolok ukur bagaimana kita menghargai diri sendiri.

usm3, 26 Juli 2009

Sabtu, Maret 21, 2009

PUASA

Pada masa puasa kali ini, ternyata aku juga puasa menulis.
Tidak tahu kenapa, tidak ingin menulis seperti kemarin-kemarin.
Lebih-lebih menulis tentang ke-sakit-hati-an yang kualami. Wegah!

Tapi malam ini aku menemuka tulisan Pak Ari
dan ingin sekali aku memasukkannya di sini:

Meratapi Matinya Retorika
Sabtu, 21 Maret 2009 | 04:23 WIB
P ARI SUBAGYO

Bahasa adalah penemuan manusia yang paling menakjubkan: manusia sungguh-sungguh sapiens (bijaksana, berbudi) hanya karena ia ”loquens” (bertutur), tulis Paul Chauchard dalam Le Langage et La Pensee (terjemahan A Widyamartaya, Bahasa dan Pikiran, 1983).

Bagaimana jika pernyataan Chauchard itu disandingkan dengan liputan Kompas (1/3) berjudul ”Menyoal Tata Krama DPR”, ”Dengar Suara Dewan”, dan artikel Eep Saefulloh Fatah, ”Kepatutan Para Legislator”, yang menyoroti perilaku berbahasa para anggota DPR yang arogan, kasar, tidak sopan, dan tanpa tata krama? Juga dengan artikel L Wilardjo, ”PakiPelecehan” (Kompas, 28/2)?

Pernyataan Chauchard hanya sebatas utopia! Keberadaban berbahasa para wakil rakyat kita begitu rendah. Seorang anggota DPR bahkan tampak santai menanggapi kegemasan publik atas pernyataannya: ”Bahasa yang saya gunakan itu bahasa politik. Sidang DPR itu kan panggung politik dan kami politisi. Itu bahasa yang biasa.”

Apa yang hilang dari keadaban anggota legislatif yang terhormat? Layakkah para politisi menciptakan ”ragam bahasa politik” yang mengabaikan tata karma?

Retorika
.......

Prinsip kesopanan
.......
Saat meratapi retorika yang terkapar mati, berkelebat kisah ini. Syahdan, filsuf agung bangsa Tiongkok abad ke-5 SM, Kung Fu-tze, ditanya oleh muridnya, ”Guru, apa yang pertama-tama akan Guru kerjakan andai kata Guru diberi kekuasaan memimpin negara?” Jawab sang filsuf, ”Pertama-tama saya akan memperbaiki bahasa. Mengapa? Karena selama penggunaan bahasa tidak beres, maka yang diucapkan bukanlah yang dimaksud, yang dimaksud tidak dikerjakan, dan yang dikerjakan bukan yang dimaksud. Akibatnya, hukum jadi kacau, pemerintah ruwet, negara berantakan.”

Sayang Kung Fu-tze tidak hidup di sini, pada zaman kini, dan menjagokan diri sebagai caleg atau capres. Kalau iya, kita pasti berbondong-bondong memilihnya.

P ARI SUBAGYO Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Senin, Februari 09, 2009

SRI LIESTYANINGRUM


Oalah Nduk, nasibmu kok malang bener…

Betapa tidak! Kerja sudah mapan, penghasilan lumayan, seperti yang tertelan angin puyuh begitu saja, yang hanya meninggalkan bekas berupa puing-puing yang sulit didandani, hanya gara-gara fondasi bangunanmu yang kurang kokoh-kuat.

Padahal, kami, para teman-sahabatmu, tidak kurang satu apa untuk ikut memperkokoh bangunanmu itu. Tapi mengapa aliran sungai yang kecil itu pun bisa menghanyutkan bangunanmu juga? Hanya kamu yang paling tahu! Walaupun demikian, kami tak bisa mengibaskan tangan bak seorang pilatus! Sebagai sahabat dalam spukat, kami memble. Ternyata kami banci. Selama ini hanya hura-hura keluar kota dengan berkedok ziarah dan rekoleksi. Memalukan dan memilukan!

Di hadapan manusia, kamu tidak bisa mengelak. Tidak bisa menutupi bangunanmu yang sudah hancur. Kamu harus mau menerima hukuman. Tapi di depan Tuhanmu, kamu masih bisa mohon ampun. Dan Tuhan pasti mengampunimu, karena Ia maha tahu, bahwa kesalahan itu bukan melulu milikmu.

Tuhan melihat orang yang langsung berada di atasmu. Ia telah membiarkan air sungai itu menggerusmu pelahan-lahan tapi pasti. Ia seharusnya telah melihat kanker yang menggerogoti sedikit demi sedikit tubuhmu. Ia telah membiarkannya terjadi demikian. Tuhan pasti tidak senang melihatnya.

Di atas langit masih ada langit. Mengapa kepala unitmu juga membiarkan hal ini terjadi? Seharusnya ia yang paling bertanggung jawab atas dosa-dosamu. Karena keteledorannya, maka kamu hancur lebur seperti ini. Walaupun ia selamat dari mata manusia, tapi di mata Tuhan tidak demikian. Tuhan akan menjadikannya kerak neraka jahanam.

Akar dari segala dosa ini adalah “yang menguasai uang”. Tugas utamanya adalah pengawasan melekat. Atau paling tidak mengawasi agar uang milik perusahaan tidak ada yang hilang. Satu sen demi satu sen harus dipertanggung-jawabkannya. Apalagi sampai ratusan juta rupiah! Apa bentuk tanggung jawabnya? Ia mungkin aman sekarang. Tapi hati-nuraninya terketuk-ketuk, terganggu oleh keteledorannya sendiri. Ia akan dikejar-kejar oleh perasaan bersalah. Hidupnya tidak tenang.

Atau…sudah tidak ada hati nurani? Walahualam.

Kok nasibmu malang benar to Nduk…nduk...

Sabtu, Januari 31, 2009

SADISME

Tanggal 27 Januari 2009.

Jam 12.30 saya di TU Fakultas Teknik mendengarkan keluhan Pak Zulkifli tentang parkir di kampus. Saya cuek karena sama sekali tidak percaya pada isu yang dilontarkan. Dalam benak saya mengatakan, tidak mungkin sampai sesadis itu terhadap karyawan dan dosen!


Tanggal 29 Januari 2009.

Saya membaca edaran. Sungguh di luar dugaan: ternyata apa yang dibicarakan di FT itu benar2 terjadi!!!

Karyawan dan Dosen Tetap hanya boleh mendaftarkan 1 kendaraan untuk parkir gratis. 1 motor atau 1 mobil saja. Tidak bisa dua2-nya. Kalau pada satu hari ada 2 kendaraan atau lebih secara bersamaan, walaupun berbeda waktu, masuk ke Unpar, maka harus membayar parkir!


Boleh berlangganan: Mobil Rp. 50.000,- dan Motor Rp. 25.000,- per bulan.


Ini sebuah penyakit juga, namanya SADISME. Di kala orang lain memikirkan bagaimana meningkatkan kesejahteraan pegawainya, orang ini selalu berpikir BAGAIMANA MEMBUNUH SESAMANYA! Bagaimana tidak! Karyawan dan Dosen Tetap yang telah mengabdikan dirinya di lembaga ini masih harus direcoki dengan pembayaran parkir, yang memarkir kendaraan di halamnnya sendiri. Sungguh keterlaluan!!!


SADISME. Ia hanya memikirkan bagaimana dirinya bisa mempertahankan sebuah jabatan, bagaimanapun caranya. Dengan memakan sesamanya, dengan perbuatan yang sungguh2 tercela. Mengabaikan hati-nurani, dan menolak kemanusiaan.