Betapa tidak! Kerja sudah mapan, penghasilan lumayan, seperti yang tertelan angin puyuh begitu saja, yang hanya meninggalkan bekas berupa puing-puing yang sulit didandani, hanya gara-gara fondasi bangunanmu yang kurang kokoh-kuat.
Padahal, kami, para teman-sahabatmu, tidak kurang satu apa untuk ikut memperkokoh bangunanmu itu. Tapi mengapa aliran sungai yang kecil itu pun bisa menghanyutkan bangunanmu juga? Hanya kamu yang paling tahu! Walaupun demikian, kami tak bisa mengibaskan tangan bak seorang pilatus! Sebagai sahabat dalam spukat, kami memble. Ternyata kami banci. Selama ini hanya hura-hura keluar kota dengan berkedok ziarah dan rekoleksi. Memalukan dan memilukan!
Di hadapan manusia, kamu tidak bisa mengelak. Tidak bisa menutupi bangunanmu yang sudah hancur. Kamu harus mau menerima hukuman. Tapi di depan Tuhanmu, kamu masih bisa mohon ampun. Dan Tuhan pasti mengampunimu, karena Ia maha tahu, bahwa kesalahan itu bukan melulu milikmu.
Tuhan melihat orang yang langsung berada di atasmu. Ia telah membiarkan air sungai itu menggerusmu pelahan-lahan tapi pasti. Ia seharusnya telah melihat kanker yang menggerogoti sedikit demi sedikit tubuhmu. Ia telah membiarkannya terjadi demikian. Tuhan pasti tidak senang melihatnya.
Di atas langit masih ada langit. Mengapa kepala unitmu juga membiarkan hal ini terjadi? Seharusnya ia yang paling bertanggung jawab atas dosa-dosamu. Karena keteledorannya, maka kamu hancur lebur seperti ini. Walaupun ia selamat dari mata manusia, tapi di mata Tuhan tidak demikian. Tuhan akan menjadikannya kerak neraka jahanam.
Akar dari segala dosa ini adalah “yang menguasai uang”. Tugas utamanya adalah pengawasan melekat. Atau paling tidak mengawasi agar uang milik perusahaan tidak ada yang hilang. Satu sen demi satu sen harus dipertanggung-jawabkannya. Apalagi sampai ratusan juta rupiah! Apa bentuk tanggung jawabnya? Ia mungkin aman sekarang. Tapi hati-nuraninya terketuk-ketuk, terganggu oleh keteledorannya sendiri. Ia akan dikejar-kejar oleh perasaan bersalah. Hidupnya tidak tenang.
Atau…sudah tidak ada hati nurani? Walahualam.
Kok nasibmu malang benar to Nduk…nduk...