Sabtu, Maret 21, 2009

PUASA

Pada masa puasa kali ini, ternyata aku juga puasa menulis.
Tidak tahu kenapa, tidak ingin menulis seperti kemarin-kemarin.
Lebih-lebih menulis tentang ke-sakit-hati-an yang kualami. Wegah!

Tapi malam ini aku menemuka tulisan Pak Ari
dan ingin sekali aku memasukkannya di sini:

Meratapi Matinya Retorika
Sabtu, 21 Maret 2009 | 04:23 WIB
P ARI SUBAGYO

Bahasa adalah penemuan manusia yang paling menakjubkan: manusia sungguh-sungguh sapiens (bijaksana, berbudi) hanya karena ia ”loquens” (bertutur), tulis Paul Chauchard dalam Le Langage et La Pensee (terjemahan A Widyamartaya, Bahasa dan Pikiran, 1983).

Bagaimana jika pernyataan Chauchard itu disandingkan dengan liputan Kompas (1/3) berjudul ”Menyoal Tata Krama DPR”, ”Dengar Suara Dewan”, dan artikel Eep Saefulloh Fatah, ”Kepatutan Para Legislator”, yang menyoroti perilaku berbahasa para anggota DPR yang arogan, kasar, tidak sopan, dan tanpa tata krama? Juga dengan artikel L Wilardjo, ”PakiPelecehan” (Kompas, 28/2)?

Pernyataan Chauchard hanya sebatas utopia! Keberadaban berbahasa para wakil rakyat kita begitu rendah. Seorang anggota DPR bahkan tampak santai menanggapi kegemasan publik atas pernyataannya: ”Bahasa yang saya gunakan itu bahasa politik. Sidang DPR itu kan panggung politik dan kami politisi. Itu bahasa yang biasa.”

Apa yang hilang dari keadaban anggota legislatif yang terhormat? Layakkah para politisi menciptakan ”ragam bahasa politik” yang mengabaikan tata karma?

Retorika
.......

Prinsip kesopanan
.......
Saat meratapi retorika yang terkapar mati, berkelebat kisah ini. Syahdan, filsuf agung bangsa Tiongkok abad ke-5 SM, Kung Fu-tze, ditanya oleh muridnya, ”Guru, apa yang pertama-tama akan Guru kerjakan andai kata Guru diberi kekuasaan memimpin negara?” Jawab sang filsuf, ”Pertama-tama saya akan memperbaiki bahasa. Mengapa? Karena selama penggunaan bahasa tidak beres, maka yang diucapkan bukanlah yang dimaksud, yang dimaksud tidak dikerjakan, dan yang dikerjakan bukan yang dimaksud. Akibatnya, hukum jadi kacau, pemerintah ruwet, negara berantakan.”

Sayang Kung Fu-tze tidak hidup di sini, pada zaman kini, dan menjagokan diri sebagai caleg atau capres. Kalau iya, kita pasti berbondong-bondong memilihnya.

P ARI SUBAGYO Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta