SEDIKIT permenungan pribadi yang
rasanya layak dibaca untuk semua orang. Masih ingat dalam benakku tentang asas
dan dasar kenapa kita, manusia diciptakan. Buku Latihan Rohani yang muncul dari
kristal-kristal pengalaman rohani Santo Ignatius Loyola yang kukenal sejak aku
masih duduk di bangku SMA Seminari Menengah Mertoyudan makin dalam kupelajari
dan kuhayati saat masuk Ordo Serikat Jesus, kurang lebih mengatakan demikian :
...tujuan manusia diciptakan
untuk memuji, menyembah dan memuliakan Tuhan…… Man is created to praise,
reverence, and serve God our Lord, and by this means to save his soul. And the
other things on the face of the earth are created for man and that they may
help him in prosecuting the end for which he is created….. (Spiritual Exercises
of St. Ignatius no 23)
Bertahun-tahun aku merasa tidak
ada yang istimewa dalam rumusan itu. Buatku, rumusan itu memang seharusnya
demikian adanya. Kucoba menerjemahkannya, ya. Kurang lebih begini, tujuan itu
diimplementasikan lewat banyak cara entah itu lewat relasi kita dengan orang
lain, pekerjaan yang kita jalankan, dan dalam setiap aktivitas kita setiap
hari.
Dengan kata lain ‘…memuji,
menyembah dan memuliakan Tuhan..’ itu terwujud ketika saya serius dan jujur
menjalani pekerjaan saya, mampu mencintai orang lain, dan dalam setiap
aktivitas kita menunjukkan perilaku yang jujur, tekun, setia juga adil.
Namun, jalan hidupku bergulir
makin jauh, ketika aku sudah mulai mengenal pemikir-pemikir seperti Sokrates,
Descartes, Emmanuel Kant, Thomas Aquino dan masih banyak lagi tokoh pemikir
lain, pertanyaan berikutnya muncul menohokku. Kenapa pula Tuhan harus dipuji, disembah
dan dimuliakan? Apakah Tuhan kurang pujian, kurang kemuliaan, dan kurang
disembah? Rasanya kok Tuhan begitu haus pujian bila memang menuntut
diperlakukan demikian.
Kurasa kemuliaan Tuhan tak akan
berubah sedikitpun meski manusia melakukan upaya apa pun untuk meninggikannya.
Entah dengan nyanyian, upacara puji-pujian, sikap hidup kita yang saleh dan
suci atau bahkan dengan teriakan-teriakan “Pujilah Tuhan di tempat yang Maha
Tinggi!!!!” ……”Allah Maha Besar!!!!!!” berkali-kali.
Kalau kita berpikir apalagi
meyakini bahwa dengan begitu Tuhan menjadi mulia, menjadi penuh kuasa, menjadi
terhebat, mungkin Tuhan sendiri yang memandang kita dan menyaksikan segala
tingkah laku kita akan geleng-geleng kepala dan berpikir “Kasihan, bodoh sekali
umatku ini!!!!”
Sebelum kita lahir, bahkan
sebelum dunia ini ada, Tuhan sudah mulia. Dia sudah penuh dengan kebesaran,
dari dulu, sekarang dan selama-lamanya. Tuhan tak butuh persembahan, pujian,
dan kemuliaan dari manusia. Siapa sih kita ini? Manusia hanyalah debu. Bahkan
mungkin lebih kecil dari debu itu sendiri atau bahkan gen bila berada di
hadapan Tuhan. Manusia tiada artinya di hadapan Tuhan. Sehingga bila kita
memuji, menyembah atau memuliakannya bukanlah karena Tuhan membutuhkannya.
Dan bukan pula karena kita ini ciptaan
lalu harus menyembahNya, sebagai majikan kita. Rasanya Tuhan bukanlah penuntut
pujian dan penyembahan. Kalau sekadar menghormati karena Dia junjungan kita,
pencipta kita, tampaknya buat apa?
Sebaik apa pun hidup kita, bahkan
seburuk apa pun hidup kita, tetap diberi karunia. Tuhan mencintai siapa pun
meski manusia sangat jahat, keji, tak berperasaan, tak tahu malu, tamak bahkan
bengis melebihi iblis. Buktinya apa? Sinar matahari masih menerangi semua
orang. Udara masih bisa kita hirup dengan bebasnya. Kekayaan alam masih bisa
kita rasakan bahkan mereka yang tamak pun bisa menikmati sampai keturunannya
yang ketujuh bahkan lebih.
Orang yang kita anggap jahat pun
bisa menikmati hidup sama nikmatnya seperti mereka yang menganggap hidupnya
benar di hadapan Allah. Orang yang dianggap keji, kotor masih bisa menikmati
enaknya hidup di dunia dan keturunan-keturunannya pun bisa menikmati
kebahagiaan duniawi.
Tuhan itu sangat baik. Sampai Dia
pun tidak akan menghukum kita serta merta saat kita berbuat jahat. Kalau memang
Tuhan seperti yang kita pikirkan, yakni sebagai PENGHUKUM keji tentu saja sudah
habis manusia di dunia ini. Yang pasti sudah tak ada orang yang bisa bebas dari
hukuman itu. Semesta ini sudah hilang, hancur dan tak bersisa lagi.
Nyatanya, Tuhan membiarkan semua
yang ada di semesta ini berjalan seperti apa adanya. Tak ada yang kurang bahkan
bisa jadi malah berlebih. Manusia bahkan makin pintar. Makin banyak
pengetahuannya. Kemajuan manusia, bila diperhatikan (dalam sejarah perkembangan
dunia) tampak luar biasa dahsyat dan hebat. Manusia betul-betul telah
menunjukkan bahwa dirinya juga bisa menciptakan SEPERTI juga TUHAN mencipta.
Luar biasa bukan?
Menunggu Mati
Nah, terbukti bahwa Tuhan
bukanlah penghukum yang keji. Kalau kita yakin bahwa Dia akan menghukum kita
setelah kita mati, pertanyaannya “kenapa harus menunggu mati? Kenapa pula harus
menunggu kita berada di dunia lain atau akhirat?
Tuhan, tentu saja, dengan
kuasaNya bisa langsung menghukum dan menghancurkan manusia sekarang juga,
seketika saat manusia berbuat keji. Tuhan tentu saja tidak mau menghabiskan
waktu atau mengulur-ulur waktu menunggu manusia bejat menjadi makin bejat dan
lupa daratan. Tuhan akan langsung menghabisi manusia tanpa pandang bulu. Itu
kalau Tuhan adalah tukang jagal!
Lalu kalau begitu, untuk apa kita
menyembah, memuji dan memuliakan Tuhan?
Dalam permenungan yang panjang
dan dalam pergulatan batin yang tidak mudah, aku menyadari sepenuhnya bahwa
sikap sembah dan pujian yang kita lantunkan dan kita sampaikan pada Tuhan sebenarnya
bukan untuk Tuhan.
Demi Manusia
Kalau agama atau para suci
menyatakan “…kita harus menyembah, memuji dan memuliakan Tuhan..” itu artinya
semua itu semata demi diri kita sendiri. Pujian kepada Tuhan dalam bentuk bakti
terhadap orangtua, pekerjaan, bangsa dan negara, dan sesama serta alam lingkungan
kita, ditujukan demi keselamatan dan kebaikan kita sendiri.
Seperti sebuah wadah yang berada
dalam pancuran yang terus menerus mengalir, wadah itu tak akan bisa diisi terus
menerus bila tidak kita tuang. Demikian juga cinta Tuhan. Pujian dan bakti
kita, yang sebenarnya hanya bisa kita lakukan karena rahmat Tuhan (dan dalam
hal ini diibaratkan sebagai air yang mengalir dalam wadah – manusia adalah
wadahnya) harus kita berikan kembali kepada pemiliknya, kepada wadah-wadah lain
juga agar wadah ini (hidup kita) tetap teraliri air itu.
Dalam banyak penelitian ilmiah
yang dilakukan para ilmuwan, terbukti bahwa pujian kita kepada Tuhan dengan
‘memberi dukungan pada orang lain’, ‘mencintai orang lain’, ‘memaafkan orang
lain’, ‘jujur terhadap diri sendiri dan orang lain’ dan masih banyak lagi
justru membuat hidup kita makin sehat (jasmani dan rohani). Singkatnya,
penelitian membuktikan bahwa kasih sayang atau yang sering disebut sebagai
dukungan sosial sangat penting untuk membuat kita tetap sehat.
Dalam sebuah penelitian yang
dilakukan atas 7.000 penduduk Alameda County di California, Amerika Serikat
mereka yang memiliki banyak kontak sosial tetapi masih merasa kesepian (tidak
mampu menerima kasih sayang) memiliki risiko 2,4 kali lebih besar menderita kanker
yang terkait dengan hormon dibandingkan dengan mereka yang merasa terkoneksi
atau terhubung dengan orang lain dan mampu menerima dan memberi kasih sayang.
Mereka yang kurang mempunyai kontak sosial dan merasa terisolasi memiliki
risiko lima kali lebih besar atau berpeluang meninggal lebih besar karena kanker.
Sistem kekebalan tubuh kita
sangat peka dengan perasaan kesepian. Sehingga saat kita merasa tidak disayang
atau bisa menyayangi orang lain ada mekanisme dalam tubuh yang terjadi
mempengaruhi sel-sel tubuh. Demikian juga dengan sikap-sikap negatif yang
kerapkali bisa muncul seperti marah, agresif. Semua itu akan memengaruhi atau
menurunkan sistem kekebalan tubuh. Akibatnya kita akan mudah sakit jantung.
Ahli jantung redford Williams dan
istrinya Virginia Williams yang adalah seorang terapis kesehatan menulis dengan
bagus dalam buku berjudul Anger Kills. Bertahun-tahun lamanya mereka melakukan
penelitian dengan cermat di Duke University Medical Shool yang hasilnya
mengatakan bahwa bagian yang mengandung racun dari sindroma Tipe-A bukanlah
perfeksionisme, tekanan waktu atau mengerjakan banyak hal pada saat yang sama,
melainkan sikap sinis karena marah, sikap bermusuhan dan sikap senang
menghakimi.
Bukti-bukti lain rasanya tak
perlu saya sampaikan lagi. Anda pasti bosan karenanya. Yang jelas, selain
secara fisik menjadi sehat, tentu saja jiwa kita akan menjadi tumbuh dan
berkembang karenanya. Kebahagiaan abadi yang bisa kita rasakan saat kita sudah
mati secara fisik sudah bisa kita rasakan dari sekarang.
Coba kita periksa dalam batin
kita masing-masing; apakah yang kita rasakan setelah kita bisa memaafkan orang
lain yang berbuat salah kepada kita? apakah yang kita rasakan setelah kita bisa
membantu orang lain yang kesulitan? apa yang kita rasakan bila kita berani
bicara dan berbuat jujur, adil dan tidak tamak?
Gambaran sederhana tampak ketika
kita menyanyikan lagu-lagu rohani, bersembahyang dengan kusuk, membuat puisi
dan lain sebagainya. Rasa bahagia, senang yang lebih dari sekedar senang akan
menyelimuti hati kita. Energi kehidupan, energi dari Tuhan, semesta
sendiri akan mengalir ketika kita
mencipta, mencinta atau menolong dan mendukung orang lain dengan suatu cara.
Tuhan memberkati.
Amin.
sumber: sesawi.net
sumber: sesawi.net