Minggu, Mei 20, 2018

Fanatisme 1


Pendukung Sepak Bola

Para pendukung Team Sepak Bola yang fanatik sering tidak terima jika kesebelasannya kalah. Mereka pasti menyalahkan orang lain. Mereka akan mencari kesalahan pada orang lain: wasit, hakim garis, penonton, kondisi lapangan, cuaca, angin, dan seterusnya.

Mereka menuduh wasitnya berat sebelah, menerima suap, main mata dengan kesebelasan lawan, tidak jeli, tidak berani (takut kepada pemain lawan), ragu-ragu dan tidak tegas, lamban dalam memutuskan hukuman, dan seterusnya. Demikian pula hakim garisnya, sama saja dengan sang wasit.

Penonton juga disalahkan. Mereka terlalu gaduh dan mengganggu konsentrasi para pemain; Lalu kondisi lapangan dikatakan tidak bagus, banyak rumput yang mati tidak dirawat yang menyebabkan pemainnya sering terpeleset dan jatuh, terutama jika sedang atau sehabis hujan. Lapangan di sebelah sana itu terlalu banyak angin, bola tidak bisa diarahkan.

Pemain lawan bermain kasar, tackling-tackling yang keras, dan sering main sandiwara dengan berpura-pura kesakitan sehinga pemain kesayangannya mendapat hukuman dari wasit.

Begitulah cara pandang para pendukung itu, juga team pelatihnya. Mereka selalu mencari kesalahan orang dan pihak lain. Mereka tidak bisa mengoreksi diri sendiri. Mereka menganggap teamnya benar-benar  sempurna, tanpa kesalahan, tidak ada kekurangan. Mereka anti kritik. Jika dikritik sedikit saja mereka sangat tersinggung dan akan marah besar.

Mereka juga anti pengembangan diri. Kebiasaan-kebiasaan selalu dipertahankan tidak boleh diganggu-gugat. Mereka menilai bahwa kebiasaan-kebiasaan yang ada di team adalah kebiasaan yang paling benar. Harga mati!

Akhirnya mereka memperkuat kelompoknya sendiri untuk membenci kelompok lain. Kelompok lain itu salah, yang benar hanya kelompoknya sendiri. Mereka lalu memusuhi kelompok lain, mencari celah untuk memfitnah, dan seterusnya…

Begitulah gambaran tentang fanatisme itu.
(kapan-kapan akan kulanjutkan)

Minggu, Mei 13, 2018

Dua Raksasa

Kakek :  di dunia ini ada 2 raksasa yang selalu berkelahi. Raksasa pertama bernama Good Speech, dan raksasa kedua adalah Hate Speech. Kira-kira siapa pemenang dari dua raksana itu?
Cucu1 :  Pastilah yang menang Good Speech, karena dimana-mana yang menang adalah kebaikan.
Kakek :  Salah! Kalau kamu, siapa yang menang?
Cucu2 :  Kalau begitu yang menang pasti Hate Speech! (sambil mengejek ke kakaknya)
Kakek :  Salah!
Cucu1 dan Cucu2 : Siapa kek yang menang?
Kakek : Tergantung!
Tergantung siapa yang makan banyak. Kalau Good Speech yang makan banyak kata-kata manis, menghibur, kata-kata yang menjunjung tinggi kejujuran dan kebenaran, raksasa ini menjadi sehat dan kuat. Dia pasti akan menjadi pemenang.
Sebaliknya, kalau Hate Speech yang makan banyak kata-kata kebencian, kebohongan, hoax, kepalsuan dan kata-kata hasutan dan kesesatan, dialah yang akan memenangkan perkelahian itu, karena dia akan berbadan gemuk dan kuat.
Cucu1 : Oiya, ya… Bener kek, bener kek…
Cucu2 : Dan di negara kita ini raksasa yang bernama Hate Speech akan menang, karena mayoritas  warga negara lebih senang berbicara bohong, menipu dan penuh kepalsuan. Warga negara di negara ini mudah sekali mempercayai Hate Speech daripada Good Speech.
Kakek : (dalam hati) Cucu-cucuku pinter. Hati nuraninya masih jernih. Semoga kedua cucuku ini tumbuh dan selalu memberi makan raksasa Good Speech.

(dari homili Mgr Anton dalam misa syukur dies natalis 25th FTI dan FTIS, 20-04-2018).

Sabtu, Oktober 07, 2017

Tritunggal Sama Sekali Tidak Berbenturan Dengan Ketuhanan YME


Tulisan yang bagus, maka saya arsipkan di blog saya, silakan dinikmati...


Bantah Eggi Sudjana, Ini Penjelasan Imam Besar Masjid Istiqlal Soal Trinitas Dalam Kristen
Oleh : KH. Prof. Dr. Nasaruddin Umar (Imam Besar Istiqlal)

Sebarr.com, Jakarta - Pernyataan Eggy Sudjana yang mengatakan Agama Kristen tidak sesuai dengan sila pertama Pancasila dibantah oleh Imam Besar Istiqlal KH. Prof. Dr. Nasaruddin Umar.
Menurut Nasaruddin Umar, Doktrin Trinitas atau Tritunggal dalam agama Kristen sama sekali tidak berbenturan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Bantahan Nasaruddin Umar tersebut menjadi viral di media sosial. Berikut penjelasan Imam Besar Masjid Istiqlal yang diterima redaksi Sebarr.com, Jumát (6/10/2017).

Mendalami Ketuhanan YME: Perspektif Agama Kristen

Oleh: KH. Prof. Dr. Nasaruddin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal)
DOKTRIN Trinitas atau Tritunggal dalam agama Kristen sama sekali tidak berbenturan dengan Ketuhanan YME. Doktrin Trinitas menggambarkan Satu Tuhan dalam tiga pribadi (one God in three Divine Personsthree), yaitu Bapa, Anak (Yesus Kristus), dan Roh Kudus. Tiga konsubstansi tersebut dapat dibedakan, namun tetap merupakan satu substansi. 

Doktrin Trinitas tidak secara eksplisit dalam Kitab Suci tetapi Kitab Suci memberikan kesaksian tentang kegiatan suatu pribadi yang hanya dapat dipahami dari segi Trinitaris. Tidak heran jika doktrin ini memiliki bentuk pembenarannya lebih luas pada akhir abad ke-4. Dalam Konsili Lateran IV dijelaskan: "Allah yang memperanakkan, Anak yang diperanakkan, dan Roh Kudus yang dihembuskan". Meskipun memiliki "tiga pribadi" tetapi tetap satu.

Logika Doktrin trinitas sesungguhnya bisa dijelaskan melalui logika Ahadiyah-Wahidiyah dalam teosofi Islam, Ein Sof-Sefirod dalam Kabbala Yahudi, Atma-Brahma dalam agama Hindu, Yang-Yin dalam teologi Taoisme. Sesuatu yang berganda atau berbilang tidak mesti harus dipertentangkan dengan konsep keesaan. Konsep Asma' al-Husna berjumlah 99 tidak mesti bertentangan dengan keesaan Allah Swt.

Suatu saat seorang muslim mendebat seorang pendeta dengan mempertanyakan konsep keesaan Tuhan dengan kehadiran Bapak, Anak, dan Roh Kudus. Sang pendeta mengatakan, kami masih mending karena hanya tiga. Bagaimana dengan Islam Tuhannya berjumlah 99. Dengan tegas dijawab bahwa 99 nama itu tetap Tuhan Yang Maha Ahad itu. Lalu dijawab, apa bedanya dengan agama kami. Yang tiga itu tetap yang satu itu.

Dalam diskusi lain, seorang murid mengadu ke mursyid (guru spiritual), bagaimana saudara kita yang beragama Kristen mengaku berketuhanan YME tetapi memiliki doktrin Trinitas, atau saudara kita yang beragama Hindu memiliki doktrin Trimurti? Sang mursyid menjawab, di situlah kelirunya mereka karena membatasi Tuhan hanya tiga, padahal semua yang ada adalah Dia, tidak ada yang ada (maujud) selain Dia.
Sang mursyid mengutip sebuak ayat: Wa lillah al-masyriq wa al-magrib fa ainama tuwallu fa tsamma wajh Allah (Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al- Baqarah/2:115).
Setelah mendengarkan panjang lebar penjelasan mursyid barulah murid itu lega. Akan tetapi kembali bertanya, kalau saudara kita tadi keliru karena hanya membatasi Tuhan hanya tiga, bagaimana dengan saya yang hanya membatasi Tuhan hanya satu. Sang mursyid menjawab: Sesungguhnya mungkin tidak ada yang salah, termasuk anda, karena yang banyak itu ialah yang satu itu dan yang satu itulah yang memiliki wajah yang banyak (al-wahdah fi al-katsrah wa al-katysrah fi al-wahdah/the one in te many and the many in the one).

Bagi umat Kristiani doktrin Trinitas sama sekali tidak mengganggu konsep kemahaesaan Tuhan dan Ketuhanan YME. Hanya orang-orang luar Kristen sering sulit memahami Tuhan mempunyai anak, karena dalam benak masyarakat kata "Anak" masih selalui dihubungkan dengan anak biologis.
Padahal dalam Bahasa Arab kata "Ibn" atau "Son" dalam Bahasa Inggris tidak selamanya berarti anak biologis. Kata "anak" bisa berarti simbol kedekatan atau representatif, seperti kata "anak-anak Indonesia di luar negeri" berarti anak-anak yang menampilkan ciri khas dan karakteristik bangsa Indonesia. 

Seorang anak lebih mencirikan karakter bapaknya sering diistilahkan "anak bapaknya". Begitu dekatnya hubungan dan banyaknya persamaan sifat dan karakter seseorang dengan sesuatu sering diistilahkan anak dari sesuatu itu. Persoalan semantik sering kali menjadi faktor penyebab terjadinya perbedaan mendasar, bahkan menjadi sumber konflik.

Sebelumnya, dalam video Eggy Sudjana yang diunggah di youtube dan beberapa media sosial mengatakan, tidak ada ajaran selain Islam yang sesuai dengan Pancasila. Selain Islam Bertentangan. Karena Kristen Trinitas, Hindu Tri Murti, Budha setahu saya tidak punya konsep Tuhan.
 

Minggu, September 10, 2017

Agama Apa yang Paling Baik?


Tulusan ini bagus sekali, maka aku cantumkan di sini, untuk selalu mengingatkanku:

Dalam sebuah wawancara dengan seorang tokoh renovator teologi pembebasan Amerika Latin asal Basil, Leonardo Boff, tokoh spiritual Budha dan pemenang nobel perdamaian serta penulis banyak buku, Dalai Lama, ditanya tentang "agama apa yg terbaik di dunia ini?"

Pertanyaan itu disampaikan Leonardo dalam sesi reses pada sebuah diskusi tentang agama dan kebebasan. Dan dengan sadar, pertanyaan agak nakal disampaikan Leonardo. "Saya kira dia akan menjawab, tentu saja Budha dari Tibet atau agama-agama timur yang usianya lebih tua dari Kristianitas," pikir Leonardo.

Mendengar pertanyaan itu, Dalai Lama berhenti sejenak sambil tersenyum, menatap langsung ke mata Boff dan secara mengejutkan menjawab pertanyaan-pertanyaan sambil tersenyum, "Agama terbaik adalah yang lebih mendekatkan Anda pada Cinta (TUHAN), yaitu agama yang membuat Anda menjadi orang yang lebih baik."

Sambil menutupi rasa malu, Boff yang merasa bahwa pertanyaan itu cukup nakal bertanya lagi, "Apakah tanda agama yang membuat kita menjadi lebih baik?"

"Agama apa pun yang bisa membuat Anda Lebih welas asih, lebih berpikiran sehat, lebih objektif dan adil, lebih menyayangi, lebih manusiawi, lebih punya rasa tanggungjawab, lebih beretika, agama yang punya kualitas seperti yang saya sebut adalah agama terbaik," ujar Dalai Lama.

Leonardo Boff terdiam sejenak dan terkagum-kagum atas jawaban Dalai Lama yang bijaksana dan tidak dapat dibantah.

Selanjutnya, Dalai Lama berkata, "Kawan, tak penting bagi saya apa agamamu, tak peduli Anda beragama atau tidak.Yang betul-betul penting bagi saya adalah perilaku Anda di depan kawan-kawan Anda, di depan keluarga, lingkungan kerja, dan dunia."

Dalai Lama melanjutkan, "Ingat, alam semesta akan menggaungkan apa yang sudah kita lakukan dan pikirkan. Hukum aksi dan reaksi tidak eksklusif hanya untuk ilmu fisika, melainkan juga untuk hubungan antarmanusia. Jika saya berbuat baik, akan menerima kebaikan. Jika saya jahat, maka saya pun akan mendapatkan keburukan yang sama."

Menurut Dalai Lama, apa yang sudah disampaikan kakek moyang kita adalah kebenaran murni. "Anda akan mendapatkan apa saja yang Anda inginkan untuk orang lain. Dan menjadi bahagia bukanlah persoalan takdir, melainkan pilihan," tegas Dalai Lama.

Akhirnya, Dalai Lama berkata,
Jagalah pikiranmu, karena akan menjadi perkataanmu
Jagalah perkataanmu, karena akan menjadi perbuatanmu
Jagalah perbuatanmu, karena akan menjadi kebiasaanmu
Jagalah kebiasaanmu, karena akan membentuk karaktermu
Jagalah karaktermu, karena akan membentuk nasib/kammamu
Jadi nasib/kammamu berawal dari pikiranmu...

dan tidak ada agama yang lebih tinggi daripada kebenaran,"ujar sang guru.

(sumber : http://health.liputan6.com/read/2258491/agama-yang-paling-baik-di-dunia)

Minggu, Agustus 06, 2017

Minggu Pelantikan



Aku sebut “minggu pelantikan” sebab pada minggu itu penuh dengan pelantikan demi pelantikan katekumen.
1.       Pada hari Sabtu, 15 Juli 2017, pada misa jam 17.00, Pelantikan Pertama Katekumen Dewasa, sebanyak 18 orang, dipimpin oleh Pst. Th, Maman S, OSC. Mereka ini sudah menempuh pra-katekumen selama 10 minggu, dan telah menjalani gladi pelantikan pada hari Kamis, 13 Juli 2017. Kelompok ini belajar sebagai katekumen setiap hari Kamis.
Upacara Pembebasan

Penatikan Pertama Dewasa
2.       Pada hari Selasa, 18 Juli 2017, pada jam 17.00, diadakan Pelantikan Pertama Katekumen Anak-anak oleh Pst. Tono, OSC. Pelantikan ini adalah pelantikan yang diadakan di luar misa Sabtu-Minggu, dan ini untuk yang  pertama-kalinya dilakukan di Paroki St. Laurentius, Bandung. Sebanyak 7 anak sudah menjalani pra-ketekumenat sejak awal Februari 2017.
Pelantikan Pertama Anak-anak
3.       Pada hari Minggu, 23 Juli 2107, pada misa jam 17.00, diadakan Pelantikan Tahap ke Dua, bagi 6 orang Katekumen Dewasa, dengan dipimpin pula oleh Pst. Th. Maman S., OSC. Mereka telah menjalani hampir seluruh materi “katekismus” modern setiap hari Selasa. Menurut rencana mereka akan menerima sakramen permandian pada hari Minggu,20 Agustus 2017, pad misa pk. 17.00.  Bersama dengan kelompok Kamis, mereka juga telah menjalani rekoleksi di Pratista, pada hari Minggu, 9 Juli 2017.
Pelantikan Kedua Dewasa
Itulah mengapa minggu itu aku sebut sebagai minggu pelantikan.
Kami bersyukur karena semua berjalan lancar, dan mohon berkat tuntunan Roh Kudus, agar supaya mereka boleh sampai pada sakramen babtis dengan lancar pula.
Amin.
Rekoleksi, Pratista 9 Juli 2017

Sabtu, Juni 24, 2017

Kenapa Tuhan Harus Disembah?

oleh : Rm. Gabriel Abdi Susanto, SJ

SEDIKIT permenungan pribadi yang rasanya layak dibaca untuk semua orang. Masih ingat dalam benakku tentang asas dan dasar kenapa kita, manusia diciptakan. Buku Latihan Rohani yang muncul dari kristal-kristal pengalaman rohani Santo Ignatius Loyola yang kukenal sejak aku masih duduk di bangku SMA Seminari Menengah Mertoyudan makin dalam kupelajari dan kuhayati saat masuk Ordo Serikat Jesus, kurang lebih mengatakan demikian :

...tujuan manusia diciptakan untuk memuji, menyembah dan memuliakan Tuhan…… Man is created to praise, reverence, and serve God our Lord, and by this means to save his soul. And the other things on the face of the earth are created for man and that they may help him in prosecuting the end for which he is created….. (Spiritual Exercises of St. Ignatius no 23)

Bertahun-tahun aku merasa tidak ada yang istimewa dalam rumusan itu. Buatku, rumusan itu memang seharusnya demikian adanya. Kucoba menerjemahkannya, ya. Kurang lebih begini, tujuan itu diimplementasikan lewat banyak cara entah itu lewat relasi kita dengan orang lain, pekerjaan yang kita jalankan, dan dalam setiap aktivitas kita setiap hari.

Dengan kata lain ‘…memuji, menyembah dan memuliakan Tuhan..’ itu terwujud ketika saya serius dan jujur menjalani pekerjaan saya, mampu mencintai orang lain, dan dalam setiap aktivitas kita menunjukkan perilaku yang jujur, tekun, setia juga adil.

Namun, jalan hidupku bergulir makin jauh, ketika aku sudah mulai mengenal pemikir-pemikir seperti Sokrates, Descartes, Emmanuel Kant, Thomas Aquino dan masih banyak lagi tokoh pemikir lain, pertanyaan berikutnya muncul menohokku. Kenapa pula Tuhan harus dipuji, disembah dan dimuliakan? Apakah Tuhan kurang pujian, kurang kemuliaan, dan kurang disembah? Rasanya kok Tuhan begitu haus pujian bila memang menuntut diperlakukan demikian.

Kurasa kemuliaan Tuhan tak akan berubah sedikitpun meski manusia melakukan upaya apa pun untuk meninggikannya. Entah dengan nyanyian, upacara puji-pujian, sikap hidup kita yang saleh dan suci atau bahkan dengan teriakan-teriakan “Pujilah Tuhan di tempat yang Maha Tinggi!!!!” ……”Allah Maha Besar!!!!!!” berkali-kali.

Kalau kita berpikir apalagi meyakini bahwa dengan begitu Tuhan menjadi mulia, menjadi penuh kuasa, menjadi terhebat, mungkin Tuhan sendiri yang memandang kita dan menyaksikan segala tingkah laku kita akan geleng-geleng kepala dan berpikir “Kasihan, bodoh sekali umatku ini!!!!”

Sebelum kita lahir, bahkan sebelum dunia ini ada, Tuhan sudah mulia. Dia sudah penuh dengan kebesaran, dari dulu, sekarang dan selama-lamanya. Tuhan tak butuh persembahan, pujian, dan kemuliaan dari manusia. Siapa sih kita ini? Manusia hanyalah debu. Bahkan mungkin lebih kecil dari debu itu sendiri atau bahkan gen bila berada di hadapan Tuhan. Manusia tiada artinya di hadapan Tuhan. Sehingga bila kita memuji, menyembah atau memuliakannya bukanlah karena Tuhan membutuhkannya.

Dan bukan pula karena kita ini ciptaan lalu harus menyembahNya, sebagai majikan kita. Rasanya Tuhan bukanlah penuntut pujian dan penyembahan. Kalau sekadar menghormati karena Dia junjungan kita, pencipta kita, tampaknya buat apa?

Sebaik apa pun hidup kita, bahkan seburuk apa pun hidup kita, tetap diberi karunia. Tuhan mencintai siapa pun meski manusia sangat jahat, keji, tak berperasaan, tak tahu malu, tamak bahkan bengis melebihi iblis. Buktinya apa? Sinar matahari masih menerangi semua orang. Udara masih bisa kita hirup dengan bebasnya. Kekayaan alam masih bisa kita rasakan bahkan mereka yang tamak pun bisa menikmati sampai keturunannya yang ketujuh bahkan lebih.

Orang yang kita anggap jahat pun bisa menikmati hidup sama nikmatnya seperti mereka yang menganggap hidupnya benar di hadapan Allah. Orang yang dianggap keji, kotor masih bisa menikmati enaknya hidup di dunia dan keturunan-keturunannya pun bisa menikmati kebahagiaan duniawi.

Tuhan itu sangat baik. Sampai Dia pun tidak akan menghukum kita serta merta saat kita berbuat jahat. Kalau memang Tuhan seperti yang kita pikirkan, yakni sebagai PENGHUKUM keji tentu saja sudah habis manusia di dunia ini. Yang pasti sudah tak ada orang yang bisa bebas dari hukuman itu. Semesta ini sudah hilang, hancur dan tak bersisa lagi.

Nyatanya, Tuhan membiarkan semua yang ada di semesta ini berjalan seperti apa adanya. Tak ada yang kurang bahkan bisa jadi malah berlebih. Manusia bahkan makin pintar. Makin banyak pengetahuannya. Kemajuan manusia, bila diperhatikan (dalam sejarah perkembangan dunia) tampak luar biasa dahsyat dan hebat. Manusia betul-betul telah menunjukkan bahwa dirinya juga bisa menciptakan SEPERTI juga TUHAN mencipta. Luar biasa bukan?

Menunggu Mati
Nah, terbukti bahwa Tuhan bukanlah penghukum yang keji. Kalau kita yakin bahwa Dia akan menghukum kita setelah kita mati, pertanyaannya “kenapa harus menunggu mati? Kenapa pula harus menunggu kita berada di dunia lain atau akhirat?

Tuhan, tentu saja, dengan kuasaNya bisa langsung menghukum dan menghancurkan manusia sekarang juga, seketika saat manusia berbuat keji. Tuhan tentu saja tidak mau menghabiskan waktu atau mengulur-ulur waktu menunggu manusia bejat menjadi makin bejat dan lupa daratan. Tuhan akan langsung menghabisi manusia tanpa pandang bulu. Itu kalau Tuhan adalah tukang jagal!

Lalu kalau begitu, untuk apa kita menyembah, memuji dan memuliakan Tuhan?

Dalam permenungan yang panjang dan dalam pergulatan batin yang tidak mudah, aku menyadari sepenuhnya bahwa sikap sembah dan pujian yang kita lantunkan dan kita sampaikan pada Tuhan sebenarnya bukan untuk Tuhan.

Demi Manusia
Kalau agama atau para suci menyatakan “…kita harus menyembah, memuji dan memuliakan Tuhan..” itu artinya semua itu semata demi diri kita sendiri. Pujian kepada Tuhan dalam bentuk bakti terhadap orangtua, pekerjaan, bangsa dan negara, dan sesama serta alam lingkungan kita, ditujukan demi keselamatan dan kebaikan kita sendiri.

Seperti sebuah wadah yang berada dalam pancuran yang terus menerus mengalir, wadah itu tak akan bisa diisi terus menerus bila tidak kita tuang. Demikian juga cinta Tuhan. Pujian dan bakti kita, yang sebenarnya hanya bisa kita lakukan karena rahmat Tuhan (dan dalam hal ini diibaratkan sebagai air yang mengalir dalam wadah – manusia adalah wadahnya) harus kita berikan kembali kepada pemiliknya, kepada wadah-wadah lain juga agar wadah ini (hidup kita) tetap teraliri air itu.

Dalam banyak penelitian ilmiah yang dilakukan para ilmuwan, terbukti bahwa pujian kita kepada Tuhan dengan ‘memberi dukungan pada orang lain’, ‘mencintai orang lain’, ‘memaafkan orang lain’, ‘jujur terhadap diri sendiri dan orang lain’ dan masih banyak lagi justru membuat hidup kita makin sehat (jasmani dan rohani). Singkatnya, penelitian membuktikan bahwa kasih sayang atau yang sering disebut sebagai dukungan sosial sangat penting untuk membuat kita tetap sehat.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan atas 7.000 penduduk Alameda County di California, Amerika Serikat mereka yang memiliki banyak kontak sosial tetapi masih merasa kesepian (tidak mampu menerima kasih sayang) memiliki risiko 2,4 kali lebih besar menderita kanker yang terkait dengan hormon dibandingkan dengan mereka yang merasa terkoneksi atau terhubung dengan orang lain dan mampu menerima dan memberi kasih sayang. Mereka yang kurang mempunyai kontak sosial dan merasa terisolasi memiliki risiko lima kali lebih besar atau berpeluang meninggal  lebih besar karena kanker.

Sistem kekebalan tubuh kita sangat peka dengan perasaan kesepian. Sehingga saat kita merasa tidak disayang atau bisa menyayangi orang lain ada mekanisme dalam tubuh yang terjadi mempengaruhi sel-sel tubuh. Demikian juga dengan sikap-sikap negatif yang kerapkali bisa muncul seperti marah, agresif. Semua itu akan memengaruhi atau menurunkan sistem kekebalan tubuh. Akibatnya kita akan mudah sakit jantung.

Ahli jantung redford Williams dan istrinya Virginia Williams yang adalah seorang terapis kesehatan menulis dengan bagus dalam buku berjudul Anger Kills. Bertahun-tahun lamanya mereka melakukan penelitian dengan cermat di Duke University Medical Shool yang hasilnya mengatakan bahwa bagian yang mengandung racun dari sindroma Tipe-A bukanlah perfeksionisme, tekanan waktu atau mengerjakan banyak hal pada saat yang sama, melainkan sikap sinis karena marah, sikap bermusuhan dan sikap senang menghakimi.

Bukti-bukti lain rasanya tak perlu saya sampaikan lagi. Anda pasti bosan karenanya. Yang jelas, selain secara fisik menjadi sehat, tentu saja jiwa kita akan menjadi tumbuh dan berkembang karenanya. Kebahagiaan abadi yang bisa kita rasakan saat kita sudah mati secara fisik sudah bisa kita rasakan dari sekarang.

Coba kita periksa dalam batin kita masing-masing; apakah yang kita rasakan setelah kita bisa memaafkan orang lain yang berbuat salah kepada kita? apakah yang kita rasakan setelah kita bisa membantu orang lain yang kesulitan? apa yang kita rasakan bila kita berani bicara dan berbuat jujur, adil dan tidak tamak?

Gambaran sederhana tampak ketika kita menyanyikan lagu-lagu rohani, bersembahyang dengan kusuk, membuat puisi dan lain sebagainya. Rasa bahagia, senang yang lebih dari sekedar senang akan menyelimuti hati kita. Energi kehidupan, energi dari Tuhan, semesta sendiri  akan mengalir ketika kita mencipta, mencinta atau menolong dan mendukung orang lain dengan suatu cara.
Tuhan memberkati.
Amin.
sumber: sesawi.net

Minggu, April 09, 2017

AGAMA YANG BENAR (2)

Aneh, saya kok jadi penasaran dengan agama yang benar dan agama yang tidak benar atau agama yang salah. Padahal saya sudah sampai pada keyakinan bahwa tidak ada agama yang benar dan agama yang salah. Yang ada adalah agama yang lebih benar dan agama yang kurang benar. Karena semua agama pasti memiliki kebenarannya masing-masing.

Agama yang lebih benar adalah agama yang yang menyejarah. Dan sejarah itu tertulis dalam kitab sucinya. Mulai dari kisah penciptaan, bagaimana Tuhan mencipta, bagaimana manusia ciptaannya itu tidak menuruti perintah dari Sang Pencipta. Sampai sebuah agama itu lahir.

Bagaimana manusia berdosa itu tetap dikasihi Tuhan Allah. Bagaimana cara Tuhan mengasihi manusia, dan bagaimana manusia menanggapinya. Bagaimana Tuhan mengirimkan para nabi, agar manusia kembali pada jalan kasih yang dikehendaki-Nya. Kalau manusia tidak paham akan kasih Allah itu, bagaimana ia dapat mengasihi sesamanya. Pastilah hanya kebencian belaka yang akan timbul dari dalam diri manusia itu.

Dengarlah sejarah. Para nabi mengatakan apa, dan kenyataan setelah beratus-ratus tahun kemudian seperti apa dan bagaimana. Agama yang lebih benar adalah agama yang runtut dengan alur sejarah umat manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan manusia lainnya. Bukan secara tiba-tiba agama itu tercipta begitu saja.

Agama yang lebih benar bukan hanya sekedar mengakui adanya kitab-kitab suci sebelumnya, tetapi sekaligus juga mengakomodasikan kitab-kitab pendahulunya di dalam kitab sucinya. Dengan demikian akan nampak alur sejarah lahirnya agama tersebut melalui perjalanan iman umat manusia.

Kesimpulan saya adalah agama yang lebih benar adalah agama yang dapat membawa umatnya kepada kebaikan universal. Tuhan dalam agama yang lebih benar adalah Tuhan yang dapat dialami oleh penganutnya, karena Tuhan Allah selalu dekat dengan umatnya. Bukan Tuhan yang jauh dan menjauh dari ciptaan-Nya, tetapi Tuhan yang mengasihi ciptaan-Nya, Tuhan yang masuk dalam pengalaman umat manusia, dan karena itu sangat membahagiakan umat-Nya. Kebahagiaan manusia karena relasi yang intim dengan Tuhan itu membawa kedamain hati, kedamaian dengan sesama dan seluruh ciptaan-Nya tanpa kecuali!

Minggu, Maret 26, 2017

Melihat Hati

Karena renungan dari Rm Bayu ini bagus, maka saya arsipkan dalam blog ini,
Mohon maaf Romo, karena saya tidak memohon ijin terlebih dahulu...

Catatan Minggu, 26 Maret 2017
HARI MINGGU PRAPASKAH IV
Injil: Yohanes 9:1-41


Syalom aleikhem.
 
Saya melihat apa yang tampak, dan saya keliru. Ini pengalaman saya waktu merayakan Misa perdana di rumah orangtua di Kalasan. Setelah Misa, umat menyalami saya. Tibalah giliran seorang bapak 50-an yang tak saya kenal. Agak kumuh bapak itu. Saya terima jabat tangannya dengan sedikit cuek. Saya tak kenal, kumuh pula dia! Ayah saya berbisik, “Itu pastor paroki kita.” Oh my God! Romo! Saya telah salah. Saya hanya memandang kulit luar. Dan saya menyesal. Sejak hari itu saya berjanji dalam hati tidak akan berbuat demikian lagi.
 
Orang cenderung melihat hanya apa yang tampak. Ternyata sikap seperti itu terbukti sering keliru. Contoh: (1) saya, (2) orang Farisi, (3) Samuel. Kisah saya sudah anda dengar. Orang Farisi dalam Bacaan Injil melihat hanya yang tampak. Pandangan mereka meleset. Mereka gagal mengenali Sang Penyelamat. Demikian juga Samuel dalam Bacaan Pertama. Ia melihat kulit, bukan hati. Dan ia salah pilih. Ada contoh lain yang saya dengar sendiri. Ini kisah nyata seorang umat. Ia karyawan baru. Suatu pagi ada orang duduk di kursi kerjanya. Ia langsung marah-marah. Ternyata yang duduk itu pemilik perusahaan. Besoknya si karyawan pensiun dini.
Manusia melihat apa yang tampak, melihat kulit. Tuhan lain, Ia melihat hati. Itulah cara kerja Tuhan. Kita diajari mengikuti cara kerja Tuhan. Mari kita melihat hati, bukan melihat kulit. Mari memandang sesama kita dengan “adil”. Artinya, tidak merendahkan sesama dalam pikiran dan hati. Orang beriman tak akan menilai sesamanya hanya dari apa yang tampak. Dasarnya ini: jangan-jangan Tuhan berbicara sesuatu kepada kita lewat sesama yang tampaknya kumuh, cacat, jijay, dsb.

Dari Injil kita tahu, Tuhan memakai si pengemis buta untuk memperkenalkan Sang Juruselamat. Namun, para Farisi tidak mampu melihat hati. Mereka hanya melihat kulit. “Siapa sih lo? Orang berdosa ngajarin kita!” kata mereka. Dan selanjutnya mereka gagal memperoleh keselamatan.
 

Tuhan menyapa kita lewat aneka peristiwa dalam hidup. Kalau kita salah melihat, petunjuk Tuhan lewat, dan kita kehilangan keselamatan, kita gagal mengenali cinta Tuhan. Orang Farisi gagal mengenali Yesus. Saya juga pernah gagal. Sejak itu, saya memperbaiki diri. Bagaimana dengan Anda?

Rev. D. Y. Istimoer Bayu Ajie
Pembaca Alkitab