Pada tahun 1980, saya melamar pekerjaan ke Unpar. Jauh sebelum saya mendapat panggilan secara resmi dari Unpar, terlebih dahulu saya dipanggil oleh Pater Frans Vermeulen, OSC. Saya menghadap beliau di Jl. Sultan Agung No. 2. Di sanalah saya diberi nasehat dan macam-macam pesan serta pelajaran:
- Apabila kamu kerja di Unpar, kamu harus bertahan duduk di kursi pada meja kerjamu. Jangan banyak berjalan-jalan keluar dari tempat dudukmu.
- Kamu hanya diwajibkan bekerja di kantor selama 36 jam per minggu, karena itulah maka sehari-harinya kamu diwajibkan bekerja dari hari Senin sampai dengan hari Sabtu selama 5-6 jam, agar masih memiliki waktu leluasa untuk bisa mengembangkan diri kamu di luar jam kerja terebut.
- Kamu harus mengisi waktu di luar jam kerja dengan sebaik-baiknya. Kamu bisa mengikuti kegiatan gerejani, kegiatan sosial kemasyarakatan dan macam-macam kegiatan olah raga, baik di lingkungan Unpar maupun di luar Unpar. Kegiatan-kegiatanmu itu akan mendewasakan diri kamu, dan akan membawa pengaruh positif pada pekerjaan kamu. Oleh karena itu keaktifanmu di masyarakat akan sangat dinilai sebagai konduite kamu di Unpar.
Beberapa bulan setelah saya bekerja di Unpar , saya bertemu dengan Pastor Roijakers, OSC. Beliau langsung menanyakan apakah saya mempunyai penyakit bisul atau tidak selama bekerja di Unpar. Pada awalnya saya bingung dengan pertanyaan itu, tetapi setelah beliau menjelaskan bahwa penyakit bisul sering menghinggapi karyawan Unpar sehingga mereka tidak tahan duduk di meja kerjanya, barulah saya mengerti apa yang dimaksudkan.
Di situ saya diberitahu mengapa jam kerja Unpar hanya sampai pk.14.00.
Unpar bukanlah pabrik yang mengejar keuntungan finansial, katanya. Maka jam kerja Unpar dibatasi hanya 36 jam seminggu. Seperti Pater Vermeulen, beliau juga menegaskan agar saya dapat mengisi waktu di luar jam kerja untuk kegiatan2 kemanusiaan-kemasyarakatan. “...Waktumu di Unpar hanya setengah hari. Masih ada waktu banyak untuk pengembangan pribadi di luar itu...”
Pada tahun 1985, di dapur FISP, saya bersama Pak Warya (alm) menemani Mgr. Geise, OFM (alm) minum kopi. Katika itu Mgr. Geise menanyakan kepada saya mengapa pk. 17.00 masih di kampus. Setelah mendengar jawaban saya bahwa saya baru saja selesai kursus komputer di PUSKOM, Mgr. mengangguk-angguk sambil menyatakan bahwa : “Tepat sekali, itulah mengapa jam kerja di Unpar hanya sampai jam 14.00, tidak lain agar kalian bisa mengembangkan diri seperti itu. Ya...ya..ya...”katanya kelihatan puas.
Sekarang jaman sudah berubah. Manusia sekarang mengejar uang jika dapat 24 jam sehari! Tidak ada waktu untuk yang lain-lain, yang penting produktifitas harus setinggi-tingginya. Hari Senin sampai Jumat tenaga dihabiskan di kantor. Di keluarga sekalipun tidak kebagian waktu dimana kondisi tubuh masih segar. Hari Sabtu dan Minggu libur di kantor, tapi hari itulah kesempatan untuk mencari uang sebanyak mungkin.
Barangkali saya termasuk orang yang beruntung dan harus bersyukur bisa hidup dan menyaksikan 2 jaman yang sama sekali berbeda!
3 komentar:
Sy sangat setuju dengan paradigma judul di atas. Apa yang saya alami adalah sebagai berikut :
1. masuk kantor jam 8.00 tidak merubah azas manfaat menjadi lebih baik dari masuk jam 7.30
2. istirahat satu jam ditengah bari bolong sama sekali tidak efektif karena tidak berdaya guna apapun kecuali hanya untuk makan siang yang cukup dilakukan dengan 15 menit saja, apalagi yang bisa dilakukan diluar pekerjaan kantor dibawah sengatan terik matahari ?
3. pulang jam 16.30 nyatanya sampai ke rumah sudah jam 17.30 karena jalanan dimanapun sedang macet-macetnya.
4. sampai di rumah sudah capek, boro-boro bisa melakukan kegiatan sosial wong doa lingkungan yang jam 19.00 saja sudah jarang bisa ikutan.
5. karena kebiasaan tidur siang yang bisa lebih menyehatkan dah gak bisa dilakukan, maka jam 21.00 saja sudah ngantuk sekalee.
6. dengan pelaksanaan ini, orang rumah hanya bisa prihatin dan berkomentar, si ayah dirumah cuma numpang molooor doang, habis mau berinteraksi dengan anggota keluarga yang serumah saja sudah sangat tidak leluasa, bayangkan kalo keluarga muda yang masih harus menemani anak-anaknya belajar, tambah repot atuh poooot.
Jadi jangan salahkan kalo aku gak setuju 1000 % dengan 5 hari kerja karena lebih banyak gak sehatnya dari sisi lahir dan batin ketimbang kerja 6 hari tapi masih bisa melakukan hal-hal berguna bukan saja melulu untuk kantor tapi juga untuk hal-hal lain di luar kantor.
Salam keblinger dan sok powerfull
hers08
Betul pisan Mas Herry,
Itu sisi lain yang PASTI sudah diperhitungkan dan dipertimbangkan masak-masak oleh para pendiri Unpar kita tercinta ini.
Sayang sekali bahwa falsafah para pendiri itu sama sekali tak pernah diperhitungkan oleh pimpinan jaman sekarang. Dua Uskup: Mgr. Arnz, OSC dan Mgr. Geise, OFM sekarang sedang menangis dan mengelus dada di surga menyaksian orang-orang jaman sekarang pada "begijikan" tidak punya unggah-ungguh dan tatakrama.
Mereka hanya menginginkan perubahan, dan yang penting harus ada perubahan. Soal perubahan itu kemana, itu hal lain, jangan dihubung-hubungkan!!!
Terima kasih atas tanggapan Mas Herry.
salam, isn@r
Ada komentar lisan dari seorang teman
yang langsung disampaikan kepadaku:
...kalau dulu semua kebijakan dipersiapkan perangkatnya dengan sebaik-baiknya,
sekarang perangkat tidak diperlukan
untuk menjalankan kebijakan.....
dengan kata lain: sekarang NGAWUR
salam,
Posting Komentar