Baru-baru ini tempatku bekerja merayakan hari jadinya yang ke 55. Acaranya ya begitu-begitu saja. Biasanya pas hari ulang tahunnya diadakan acara oratio dies. Oratio Dies kali ini dibawakan oleh Dekan FISIP, Dr. Ulber Silalahi, MA.
Thema oratio kali ini adalah “Kepercayaan sebagai Modal Sosial dalam Berorganisasi: Meningkatkan Kinerja Organisasi dan Kepuasan Kerja Pegawai Melalui Perilaku Saling Percaya”. Tentang thema ini kapan-kapan akan aku tulis secara khusus. Penting diingat tentang thema ini adalah bahwa organisasi yang sehat perlu adanya kepercayaan timbal balik antara pemimpin dan yang dipimpin.
Beberapa hari kemudian diadakan Misa Syukur, dengan thema “Memberi dengan Sepenuh Hati”. Sebagai selebran adalah Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM, dan konselebran adalah Pst. Antonius Subianto, OSC, dan Pst. Cristoforus Triharsono, Pr.
Dekorasi misa sungguh luar biasa. Gedung Serba Guna disulap menjadi Gerja modern. Misa terlambat 50 menit, tetapi tak seorangpun merasa “aneh”. Doa Syukur Agung III pada teks misa berasal dari copy-paste yang tak dicek dan dibaca lagi sebelum diperbanyak. Di sana masih tercetak “…Paus kami Yohanes Paulus II, dan Uskup kami Alexander Djajasiswaya….” Pergeseran nilai2 memang sudah mulai tampak disana-sini.
Acara puncaknya adalah acara kekeluargaan. Acara didominasi oleh seorang (hanya seorang) karyawan. Acaranya benar-benar kering, tidak menarik sama sekali. Konon biaya pengisi acara itu 4 juta rupiah. Orang-orang setia menunggu sampai sore, tetapi bukan menikmati suguhan acaranya. Mereka menunggu door-prize!
Kesan dari seorang pensiuan yang sempat hadir dari pagi hingga hampir pk. 16.00 adalah “bekas kantorku sudah dipenuhi oleh orang-orang muda yang tidak punya sopan-santun…”
Yang perlu Anda ketahui adalah bahwa seluruh tulisan ini hanya bersumber pada “katanya”. Jadi penulis sama sekali tidak melihat dan mengalaminya sendiri. Penulis hanya mendengar cerita kanan-kiri, yang mendorongnya untuk menuliskannya di sini apa adanya.