Sabtu, Oktober 06, 2012

TAK ADA HATI (LAGI)


(HATI YANG MAU TERLUKA bag 2)

Percuma menunggu "Hati yang Mau Terluka". Hati yang sejuk-nyaman saja susah ditemui di sini. Apalagi hati yang mau terluka. Sudah tertutup. Sudah mati. Sudah tidak ada hati (lagi)....

Aku yakin, jawaban : tidak bisa, nanti banyak orang lain yang meminta hal yang sama... bukan bahasa beliau. Beberapa bulan yang lalu, jawaban itu diucapkan oleh pembisik pimpinan, ketika seorang teman meminta dana olah raga. Jadi itu jelas jawaban si kroco yang di bawah. Pimpinan hanya tinggal menyampaikan saja.

Keterlaluan. Semua di-gebyah-uyah, digenerasilir. Tidak melihat kasus per kasus!

Ceritanya begini: seorang karyawan menulis permohonan agar diijinkan menggunakan fasilitas pinjaman pengobatan tahun 2013, karena plafond 2012 sudah habis. Hal itu terpaksa dimohonkan karena take-home-pay dari gaji ybs sudah tidak memungkinkan lagi untuk menambah pinjaman. (lihat potongan pada tulisan sebelumnya: HATI YANG MAU TERLUKA).

Jawabannya seperti yang aku tuliskan di atas itu. Lebih jauh diminta kepada ybs. untuk menggunakan fasilitas uang muka. Jelas itu saran yang meremehkan kemanusiaan! Menyarankan dengan mata merem. Orang itu memang pembunuh berdarah dingin, sejak dulu!

Duh Gusti, mohon ampun...! Sungguh keterlaluan! Sudah tidak ada hati. Sudah mati!

Sabtu, Agustus 04, 2012

HATI YANG MAU TERLUKA

Selisih tagihan biaya rawat inap rumah sakit antara kelas II dan kelas III adalah sebesar Rp.  4.972.800,-. dimana  selisih ini menjadi tanggungan karyawan ybs.  Ada surat pemberitahuan kepada ybs. ttg hal itu yang ditandatangani oleh salah seorang staf Biro. Seorang staf!

Dari surat pemberitahuan itu terbaca bahwa tagihan itu akan diperhitungkan dengan gaji bulan Juli 2012, padahal besarnya gaji netto ybs. hanya Rp. 4.113.000,- Jadi tidak bisa lunas pada bulan Juli 2012. Pun, jika dipaksakan, akan membunuh karyawan ybs., karena membuat karyawan tsb. tidak bisa makan.

Karyawan tsb. berinisiatif mengajukan permohonan untuk dipotong dari gaji selama 12 bulan, karena menyadari kemampuannya untuk mencicil setiap bulannya.

Atas permohonan itu, pimpinan hanya mengabulkan untuk mencicil selama 6 bulan, sehingga setiap bulannya dipotong dari gaji ybs. sebesar Rp. 799.300,- 

Alasan agar laporan tahunan keuangan lancar/beres pada waktunya, terlalu egois, hanya berpusat pada keperluan dirinya, sama sekali tidak mempertimbangkan kebutuhan pihak lain, karyawan ybs.

Itulah kepemimpinan anak muda. Mereka jenius, dengan indeks prestasi 4,0 atau mendekati, tetapi belum punya hati. Semua masih berpusat pada dirinya sendiri, pada kelompoknya sendiri, pada unitnya sendiri, pada prestasinya sendiri.

Sedih? Ya, tentu sedih. Tetapi harus diterima dan ditelan dengan sabar dan ikhlas. Itu kenyataan jaman sekarang. Yang tua, yang hatinya sudah matang, justru harus dengan “legowo” menyingkir demi anak muda, dengan harap-harap cemas, smoga mereka lekas memiliki hati, hati yang mau terluka untuk sesama, bukan hanya untuk diri sendiri!

Sabtu, April 14, 2012

Belinyu


Di sanalah kepribadianku dibentuk. Sebagai pemuda ingusan dari kampung, kami berempat ditugaskan untuk mengajar di Pulau Bangka. Dua temanku di wilayah Pangkalpinang, dan aku beserta seorang teman, Giri Kuwata, ditempatkan di kota Belinyu, kota kecil di Bangka Utara.


Saat itu, bulan Januari 1975, untuk pertama kalinya aku mengajar di Santa Agnes. Di bawah bimbingan seseorang yang di kemudian hari aku anggap sebagai kakakku sendiri, Pak Sugriwanto, aku menjadi seorang guru yang baik.

Tak seharipun kami lewatkan untuk berdiskusi, sharing tentang hidup dan kehidupan bersama Pak Sugriwanto. Seringkali kami sharing di atas makam Sr. Ignata dari sore sampai pagi hari. Lambat laun kemanusiaan kamipun tergodok dan tertempa melalui hal-hal kecil yang kami alami dalam hidup sehari-hari.

Pada waktu umurku belum dua puluh, aku sudah mengurus semua keperluanku sendiri. Dari urusan pakaian yang kupakai untuk mengajar, sampai soal makan. Belum lagi pekerjaan rutin sebagai seorang guru yang harus mempersiapkan diri untuk mengajar, mengoreksi pekerjaan murid-murid dlsb.

Aku juga mengurusi anak-anak misdinar. Sebelumnya mereka tak ‘terwadahi’. Mereka langsung menerima perintah dari Pastor Paroki, yang notabene sudah tua. Tak jarang mereka bertugas karena takut. Aku sekedar membantu pastor untuk mengkoordinasi mereka. Membuat tugas harian, mingguan dan latihan untuk hari-hari raya, mengajak mereka rekreasi dan bermain.

Di luar jam mengajar, masih bersama Pak Sugri (demikian aku memanggilnya), kami bekerja sebagai tenaga lepas pada sebuah asuransi jiwa yang sudah tua. Kami menikmati itu, sering kali kami harus naik perahu kecil satu sampai dua jam menuju satu kota untuk menyampaikan kuitansi premi asuransi kepada para nasabah.

Dari situlah kerpibadianku tumbuh. Aku yang sekarang ini, sebenarnya dibentuk dan ditempa oleh kehidupanku pada tiga puluh lima tahun yang lalu. Untuk itu aku bersyukur boleh mengalami hal-hal itu semua….


Sabtu, Maret 31, 2012

Gua Maria Pelindung Segala Bangsa

Setelah 36 tahun kutinggalkan, akhirnya aku bisa melihat kembali kota Belinyu, sebuah kota kecil di Pulau Bangka Bagian Utara. Kota itu hanya kota kecamatan, tetapi menjadi ‘ramai’ karena ada pelabuhan di sana.

Pada bulan Januari 1975 aku mulai mengajar di SD. St. Agnes di kota Belinyu ini. Pada saat itu Belinyu adalah kota yang sepi. Sampai akhir 1976, Belinyu kutinggalkan untuk melanjutkan perantauan dan pencarian di kota Bandung, Jawa Barat.

Aku sangat bersyukur karena pada hari Sabtu, 24 Maret 2012, aku dapat berkunjung kembali di kota Belinyu. Walaupun hanya sebentar, tetapi seluruh bayangan, walau samar-samar, tercipta kembali.

Syukur tak terhingga kepada Bunda Maria, Pelindung Segala Bangsa, yang pasti telah menuntunku kembali ke Belinyu. Betapa tidak. Jika di sana tidak bertahta Bunda Maria dalam sebuah Gua yang sangat bagus, di tengah pelataran dan taman yang terawat rapih, aku mungkin takkan pernah sampai sana.

Terima kasih, O Bunda Kudus...

Setelah doa Jalan Salib dan doa pribadi, baik di Gua maupun di Bilik Hening, kami bertujuh menikmati Bakmi Pelangi Belinyu. Dari situ kami meluncur ke Pelabuhan, sekedar menghidupkan kenangan yang telah memudar, samar-samar.

Mobil meluncur ke arah Pangkalpinang melewati Hotel Citra di Jl. Jendal Sudirman Sungailiat, tempat kami menginap malam sebelumnya. Istirahat sejenak di Raja Laut untuk menyantap sabu, kami langsung ke Pantai Matras, Pantai Rebo, Shaolin Temple dan terakhir mengunjungi Tempat Ibadah Dewi Kuan Yin.

Sampai Hotel Puri di Pangkalpinang sudah jam 20.00 lebih, tidak kuat lagi keluar selain istirahat total di sana.

Setelah mengikuti ekaristi di Katedral jam 08.00, pada hari minggu itu kami mencari-cari yang aneh di Pangkalpinang. Sempat beli jajanan pasar, kue-kue basah, dan akhirnya kami sampai pada pusat oleh-oleh dari Bangka.

Tanpa terasa, kami sudah harus sampai Bandara Dipati Amir.
Selamat tinggal Pak Endang, guide kami selama di Bangka.
Selamat tinggal Pangkalpinang, Sungailiat dan Belinyu.
Selamat tinggal kenangan.