Sabtu, Oktober 07, 2017
Tritunggal Sama Sekali Tidak Berbenturan Dengan Ketuhanan YME
Tulisan yang bagus, maka saya arsipkan di blog saya, silakan dinikmati...
Bantah Eggi Sudjana, Ini Penjelasan Imam Besar Masjid Istiqlal Soal Trinitas Dalam Kristen
Oleh : KH. Prof. Dr. Nasaruddin Umar (Imam Besar Istiqlal)
Sebarr.com, Jakarta - Pernyataan Eggy Sudjana yang mengatakan Agama Kristen tidak sesuai dengan sila pertama Pancasila dibantah oleh Imam Besar Istiqlal KH. Prof. Dr. Nasaruddin Umar.
Menurut Nasaruddin Umar, Doktrin Trinitas atau Tritunggal dalam agama Kristen sama sekali tidak berbenturan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bantahan Nasaruddin Umar tersebut menjadi viral di media sosial. Berikut penjelasan Imam Besar Masjid Istiqlal yang diterima redaksi Sebarr.com, Jumát (6/10/2017).
Mendalami Ketuhanan YME: Perspektif Agama Kristen
Oleh: KH. Prof. Dr. Nasaruddin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal)
DOKTRIN Trinitas atau Tritunggal dalam agama Kristen sama sekali tidak berbenturan dengan Ketuhanan YME. Doktrin Trinitas menggambarkan Satu Tuhan dalam tiga pribadi (one God in three Divine Personsthree), yaitu Bapa, Anak (Yesus Kristus), dan Roh Kudus. Tiga konsubstansi tersebut dapat dibedakan, namun tetap merupakan satu substansi.
Doktrin Trinitas tidak secara eksplisit dalam Kitab Suci tetapi Kitab Suci memberikan kesaksian tentang kegiatan suatu pribadi yang hanya dapat dipahami dari segi Trinitaris. Tidak heran jika doktrin ini memiliki bentuk pembenarannya lebih luas pada akhir abad ke-4. Dalam Konsili Lateran IV dijelaskan: "Allah yang memperanakkan, Anak yang diperanakkan, dan Roh Kudus yang dihembuskan". Meskipun memiliki "tiga pribadi" tetapi tetap satu.
Logika Doktrin trinitas sesungguhnya bisa dijelaskan melalui logika Ahadiyah-Wahidiyah dalam teosofi Islam, Ein Sof-Sefirod dalam Kabbala Yahudi, Atma-Brahma dalam agama Hindu, Yang-Yin dalam teologi Taoisme. Sesuatu yang berganda atau berbilang tidak mesti harus dipertentangkan dengan konsep keesaan. Konsep Asma' al-Husna berjumlah 99 tidak mesti bertentangan dengan keesaan Allah Swt.
Suatu saat seorang muslim mendebat seorang pendeta dengan mempertanyakan konsep keesaan Tuhan dengan kehadiran Bapak, Anak, dan Roh Kudus. Sang pendeta mengatakan, kami masih mending karena hanya tiga. Bagaimana dengan Islam Tuhannya berjumlah 99. Dengan tegas dijawab bahwa 99 nama itu tetap Tuhan Yang Maha Ahad itu. Lalu dijawab, apa bedanya dengan agama kami. Yang tiga itu tetap yang satu itu.
Dalam diskusi lain, seorang murid mengadu ke mursyid (guru spiritual), bagaimana saudara kita yang beragama Kristen mengaku berketuhanan YME tetapi memiliki doktrin Trinitas, atau saudara kita yang beragama Hindu memiliki doktrin Trimurti? Sang mursyid menjawab, di situlah kelirunya mereka karena membatasi Tuhan hanya tiga, padahal semua yang ada adalah Dia, tidak ada yang ada (maujud) selain Dia.
Sang mursyid mengutip sebuak ayat: Wa lillah al-masyriq wa al-magrib fa ainama tuwallu fa tsamma wajh Allah (Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al- Baqarah/2:115).
Setelah mendengarkan panjang lebar penjelasan mursyid barulah murid itu lega. Akan tetapi kembali bertanya, kalau saudara kita tadi keliru karena hanya membatasi Tuhan hanya tiga, bagaimana dengan saya yang hanya membatasi Tuhan hanya satu. Sang mursyid menjawab: Sesungguhnya mungkin tidak ada yang salah, termasuk anda, karena yang banyak itu ialah yang satu itu dan yang satu itulah yang memiliki wajah yang banyak (al-wahdah fi al-katsrah wa al-katysrah fi al-wahdah/the one in te many and the many in the one).
Bagi umat Kristiani doktrin Trinitas sama sekali tidak mengganggu konsep kemahaesaan Tuhan dan Ketuhanan YME. Hanya orang-orang luar Kristen sering sulit memahami Tuhan mempunyai anak, karena dalam benak masyarakat kata "Anak" masih selalui dihubungkan dengan anak biologis.
Padahal dalam Bahasa Arab kata "Ibn" atau "Son" dalam Bahasa Inggris tidak selamanya berarti anak biologis. Kata "anak" bisa berarti simbol kedekatan atau representatif, seperti kata "anak-anak Indonesia di luar negeri" berarti anak-anak yang menampilkan ciri khas dan karakteristik bangsa Indonesia.
Seorang anak lebih mencirikan karakter bapaknya sering diistilahkan "anak bapaknya". Begitu dekatnya hubungan dan banyaknya persamaan sifat dan karakter seseorang dengan sesuatu sering diistilahkan anak dari sesuatu itu. Persoalan semantik sering kali menjadi faktor penyebab terjadinya perbedaan mendasar, bahkan menjadi sumber konflik.
Sebelumnya, dalam video Eggy Sudjana yang diunggah di youtube dan beberapa media sosial mengatakan, tidak ada ajaran selain Islam yang sesuai dengan Pancasila. Selain Islam Bertentangan. Karena Kristen Trinitas, Hindu Tri Murti, Budha setahu saya tidak punya konsep Tuhan.
Minggu, September 10, 2017
Agama Apa yang Paling Baik?
Tulusan ini bagus sekali, maka aku cantumkan di sini, untuk selalu mengingatkanku:
Dalam sebuah wawancara dengan seorang tokoh renovator teologi pembebasan Amerika Latin asal Basil, Leonardo Boff, tokoh spiritual Budha dan pemenang nobel perdamaian serta penulis banyak buku, Dalai Lama, ditanya tentang "agama apa yg terbaik di dunia ini?"
Pertanyaan itu disampaikan Leonardo dalam sesi reses pada
sebuah diskusi tentang agama dan kebebasan. Dan dengan sadar, pertanyaan agak
nakal disampaikan Leonardo. "Saya kira dia akan menjawab, tentu saja Budha
dari Tibet atau agama-agama timur yang usianya lebih tua dari
Kristianitas," pikir Leonardo.
Mendengar pertanyaan itu, Dalai Lama berhenti sejenak sambil
tersenyum, menatap langsung ke mata Boff dan secara mengejutkan menjawab
pertanyaan-pertanyaan sambil tersenyum, "Agama terbaik adalah yang lebih
mendekatkan Anda pada Cinta (TUHAN), yaitu agama yang membuat Anda menjadi
orang yang lebih baik."
Sambil menutupi rasa malu, Boff yang merasa bahwa pertanyaan
itu cukup nakal bertanya lagi, "Apakah tanda agama yang membuat kita menjadi
lebih baik?"
"Agama apa pun yang bisa membuat Anda Lebih welas asih,
lebih berpikiran sehat, lebih objektif dan adil, lebih menyayangi, lebih
manusiawi, lebih punya rasa tanggungjawab, lebih beretika, agama yang punya
kualitas seperti yang saya sebut adalah agama terbaik," ujar Dalai Lama.
Leonardo Boff terdiam sejenak dan terkagum-kagum atas
jawaban Dalai Lama yang bijaksana dan tidak dapat dibantah.
Selanjutnya, Dalai Lama berkata, "Kawan, tak penting
bagi saya apa agamamu, tak peduli Anda beragama atau tidak.Yang betul-betul
penting bagi saya adalah perilaku Anda di depan kawan-kawan Anda, di depan
keluarga, lingkungan kerja, dan dunia."
Dalai Lama melanjutkan, "Ingat, alam semesta akan
menggaungkan apa yang sudah kita lakukan dan pikirkan. Hukum aksi dan reaksi
tidak eksklusif hanya untuk ilmu fisika, melainkan juga untuk hubungan
antarmanusia. Jika saya berbuat baik, akan menerima kebaikan. Jika saya jahat,
maka saya pun akan mendapatkan keburukan yang sama."
Menurut Dalai Lama, apa yang sudah disampaikan kakek moyang
kita adalah kebenaran murni. "Anda akan mendapatkan apa saja yang Anda
inginkan untuk orang lain. Dan menjadi bahagia bukanlah persoalan takdir,
melainkan pilihan," tegas Dalai Lama.
Akhirnya, Dalai Lama berkata,
Jagalah pikiranmu, karena akan menjadi perkataanmu
Jagalah perkataanmu, karena akan menjadi perbuatanmu
Jagalah perbuatanmu, karena akan menjadi kebiasaanmu
Jagalah kebiasaanmu, karena akan membentuk karaktermu
Jagalah karaktermu, karena akan membentuk nasib/kammamu
Jadi nasib/kammamu berawal dari pikiranmu...
Jagalah pikiranmu, karena akan menjadi perkataanmu
Jagalah perkataanmu, karena akan menjadi perbuatanmu
Jagalah perbuatanmu, karena akan menjadi kebiasaanmu
Jagalah kebiasaanmu, karena akan membentuk karaktermu
Jagalah karaktermu, karena akan membentuk nasib/kammamu
Jadi nasib/kammamu berawal dari pikiranmu...
dan tidak ada agama yang lebih tinggi daripada
kebenaran,"ujar sang guru.
(sumber : http://health.liputan6.com/read/2258491/agama-yang-paling-baik-di-dunia)
Minggu, Agustus 06, 2017
Minggu Pelantikan
Aku sebut “minggu pelantikan” sebab pada minggu itu penuh
dengan pelantikan demi pelantikan katekumen.
1.
Pada hari Sabtu, 15 Juli 2017, pada misa jam
17.00, Pelantikan Pertama Katekumen Dewasa, sebanyak 18 orang, dipimpin oleh
Pst. Th, Maman S, OSC. Mereka ini sudah menempuh pra-katekumen selama 10
minggu, dan telah menjalani gladi pelantikan pada hari Kamis, 13 Juli 2017.
Kelompok ini belajar sebagai katekumen setiap hari Kamis.
![]() |
Upacara Pembebasan |
![]() |
Penatikan Pertama Dewasa |
2.
Pada hari Selasa, 18 Juli 2017, pada jam 17.00,
diadakan Pelantikan Pertama Katekumen Anak-anak oleh Pst. Tono, OSC. Pelantikan
ini adalah pelantikan yang diadakan di luar misa Sabtu-Minggu, dan ini untuk
yang pertama-kalinya dilakukan di Paroki
St. Laurentius, Bandung. Sebanyak 7 anak sudah menjalani pra-ketekumenat sejak
awal Februari 2017.
![]() |
Pelantikan Pertama Anak-anak |
3.
Pada hari Minggu, 23 Juli 2107, pada misa jam
17.00, diadakan Pelantikan Tahap ke Dua, bagi 6 orang Katekumen Dewasa, dengan
dipimpin pula oleh Pst. Th. Maman S., OSC. Mereka telah menjalani hampir
seluruh materi “katekismus” modern setiap hari Selasa. Menurut rencana mereka
akan menerima sakramen permandian pada hari Minggu,20 Agustus 2017, pad misa
pk. 17.00. Bersama dengan kelompok
Kamis, mereka juga telah menjalani rekoleksi di Pratista, pada hari Minggu, 9
Juli 2017.
![]() |
Pelantikan Kedua Dewasa |
Itulah mengapa minggu itu aku sebut sebagai minggu
pelantikan.
Kami bersyukur karena semua berjalan lancar, dan mohon
berkat tuntunan Roh Kudus, agar supaya mereka boleh sampai pada sakramen babtis
dengan lancar pula.
Amin.
![]() |
Rekoleksi, Pratista 9 Juli 2017 |
Sabtu, Juni 24, 2017
Kenapa Tuhan Harus Disembah?
oleh : Rm. Gabriel Abdi Susanto, SJ
SEDIKIT permenungan pribadi yang
rasanya layak dibaca untuk semua orang. Masih ingat dalam benakku tentang asas
dan dasar kenapa kita, manusia diciptakan. Buku Latihan Rohani yang muncul dari
kristal-kristal pengalaman rohani Santo Ignatius Loyola yang kukenal sejak aku
masih duduk di bangku SMA Seminari Menengah Mertoyudan makin dalam kupelajari
dan kuhayati saat masuk Ordo Serikat Jesus, kurang lebih mengatakan demikian :
...tujuan manusia diciptakan
untuk memuji, menyembah dan memuliakan Tuhan…… Man is created to praise,
reverence, and serve God our Lord, and by this means to save his soul. And the
other things on the face of the earth are created for man and that they may
help him in prosecuting the end for which he is created….. (Spiritual Exercises
of St. Ignatius no 23)
Bertahun-tahun aku merasa tidak
ada yang istimewa dalam rumusan itu. Buatku, rumusan itu memang seharusnya
demikian adanya. Kucoba menerjemahkannya, ya. Kurang lebih begini, tujuan itu
diimplementasikan lewat banyak cara entah itu lewat relasi kita dengan orang
lain, pekerjaan yang kita jalankan, dan dalam setiap aktivitas kita setiap
hari.
Dengan kata lain ‘…memuji,
menyembah dan memuliakan Tuhan..’ itu terwujud ketika saya serius dan jujur
menjalani pekerjaan saya, mampu mencintai orang lain, dan dalam setiap
aktivitas kita menunjukkan perilaku yang jujur, tekun, setia juga adil.
Namun, jalan hidupku bergulir
makin jauh, ketika aku sudah mulai mengenal pemikir-pemikir seperti Sokrates,
Descartes, Emmanuel Kant, Thomas Aquino dan masih banyak lagi tokoh pemikir
lain, pertanyaan berikutnya muncul menohokku. Kenapa pula Tuhan harus dipuji, disembah
dan dimuliakan? Apakah Tuhan kurang pujian, kurang kemuliaan, dan kurang
disembah? Rasanya kok Tuhan begitu haus pujian bila memang menuntut
diperlakukan demikian.
Kurasa kemuliaan Tuhan tak akan
berubah sedikitpun meski manusia melakukan upaya apa pun untuk meninggikannya.
Entah dengan nyanyian, upacara puji-pujian, sikap hidup kita yang saleh dan
suci atau bahkan dengan teriakan-teriakan “Pujilah Tuhan di tempat yang Maha
Tinggi!!!!” ……”Allah Maha Besar!!!!!!” berkali-kali.
Kalau kita berpikir apalagi
meyakini bahwa dengan begitu Tuhan menjadi mulia, menjadi penuh kuasa, menjadi
terhebat, mungkin Tuhan sendiri yang memandang kita dan menyaksikan segala
tingkah laku kita akan geleng-geleng kepala dan berpikir “Kasihan, bodoh sekali
umatku ini!!!!”
Sebelum kita lahir, bahkan
sebelum dunia ini ada, Tuhan sudah mulia. Dia sudah penuh dengan kebesaran,
dari dulu, sekarang dan selama-lamanya. Tuhan tak butuh persembahan, pujian,
dan kemuliaan dari manusia. Siapa sih kita ini? Manusia hanyalah debu. Bahkan
mungkin lebih kecil dari debu itu sendiri atau bahkan gen bila berada di
hadapan Tuhan. Manusia tiada artinya di hadapan Tuhan. Sehingga bila kita
memuji, menyembah atau memuliakannya bukanlah karena Tuhan membutuhkannya.
Dan bukan pula karena kita ini ciptaan
lalu harus menyembahNya, sebagai majikan kita. Rasanya Tuhan bukanlah penuntut
pujian dan penyembahan. Kalau sekadar menghormati karena Dia junjungan kita,
pencipta kita, tampaknya buat apa?
Sebaik apa pun hidup kita, bahkan
seburuk apa pun hidup kita, tetap diberi karunia. Tuhan mencintai siapa pun
meski manusia sangat jahat, keji, tak berperasaan, tak tahu malu, tamak bahkan
bengis melebihi iblis. Buktinya apa? Sinar matahari masih menerangi semua
orang. Udara masih bisa kita hirup dengan bebasnya. Kekayaan alam masih bisa
kita rasakan bahkan mereka yang tamak pun bisa menikmati sampai keturunannya
yang ketujuh bahkan lebih.
Orang yang kita anggap jahat pun
bisa menikmati hidup sama nikmatnya seperti mereka yang menganggap hidupnya
benar di hadapan Allah. Orang yang dianggap keji, kotor masih bisa menikmati
enaknya hidup di dunia dan keturunan-keturunannya pun bisa menikmati
kebahagiaan duniawi.
Tuhan itu sangat baik. Sampai Dia
pun tidak akan menghukum kita serta merta saat kita berbuat jahat. Kalau memang
Tuhan seperti yang kita pikirkan, yakni sebagai PENGHUKUM keji tentu saja sudah
habis manusia di dunia ini. Yang pasti sudah tak ada orang yang bisa bebas dari
hukuman itu. Semesta ini sudah hilang, hancur dan tak bersisa lagi.
Nyatanya, Tuhan membiarkan semua
yang ada di semesta ini berjalan seperti apa adanya. Tak ada yang kurang bahkan
bisa jadi malah berlebih. Manusia bahkan makin pintar. Makin banyak
pengetahuannya. Kemajuan manusia, bila diperhatikan (dalam sejarah perkembangan
dunia) tampak luar biasa dahsyat dan hebat. Manusia betul-betul telah
menunjukkan bahwa dirinya juga bisa menciptakan SEPERTI juga TUHAN mencipta.
Luar biasa bukan?
Menunggu Mati
Nah, terbukti bahwa Tuhan
bukanlah penghukum yang keji. Kalau kita yakin bahwa Dia akan menghukum kita
setelah kita mati, pertanyaannya “kenapa harus menunggu mati? Kenapa pula harus
menunggu kita berada di dunia lain atau akhirat?
Tuhan, tentu saja, dengan
kuasaNya bisa langsung menghukum dan menghancurkan manusia sekarang juga,
seketika saat manusia berbuat keji. Tuhan tentu saja tidak mau menghabiskan
waktu atau mengulur-ulur waktu menunggu manusia bejat menjadi makin bejat dan
lupa daratan. Tuhan akan langsung menghabisi manusia tanpa pandang bulu. Itu
kalau Tuhan adalah tukang jagal!
Lalu kalau begitu, untuk apa kita
menyembah, memuji dan memuliakan Tuhan?
Dalam permenungan yang panjang
dan dalam pergulatan batin yang tidak mudah, aku menyadari sepenuhnya bahwa
sikap sembah dan pujian yang kita lantunkan dan kita sampaikan pada Tuhan sebenarnya
bukan untuk Tuhan.
Demi Manusia
Kalau agama atau para suci
menyatakan “…kita harus menyembah, memuji dan memuliakan Tuhan..” itu artinya
semua itu semata demi diri kita sendiri. Pujian kepada Tuhan dalam bentuk bakti
terhadap orangtua, pekerjaan, bangsa dan negara, dan sesama serta alam lingkungan
kita, ditujukan demi keselamatan dan kebaikan kita sendiri.
Seperti sebuah wadah yang berada
dalam pancuran yang terus menerus mengalir, wadah itu tak akan bisa diisi terus
menerus bila tidak kita tuang. Demikian juga cinta Tuhan. Pujian dan bakti
kita, yang sebenarnya hanya bisa kita lakukan karena rahmat Tuhan (dan dalam
hal ini diibaratkan sebagai air yang mengalir dalam wadah – manusia adalah
wadahnya) harus kita berikan kembali kepada pemiliknya, kepada wadah-wadah lain
juga agar wadah ini (hidup kita) tetap teraliri air itu.
Dalam banyak penelitian ilmiah
yang dilakukan para ilmuwan, terbukti bahwa pujian kita kepada Tuhan dengan
‘memberi dukungan pada orang lain’, ‘mencintai orang lain’, ‘memaafkan orang
lain’, ‘jujur terhadap diri sendiri dan orang lain’ dan masih banyak lagi
justru membuat hidup kita makin sehat (jasmani dan rohani). Singkatnya,
penelitian membuktikan bahwa kasih sayang atau yang sering disebut sebagai
dukungan sosial sangat penting untuk membuat kita tetap sehat.
Dalam sebuah penelitian yang
dilakukan atas 7.000 penduduk Alameda County di California, Amerika Serikat
mereka yang memiliki banyak kontak sosial tetapi masih merasa kesepian (tidak
mampu menerima kasih sayang) memiliki risiko 2,4 kali lebih besar menderita kanker
yang terkait dengan hormon dibandingkan dengan mereka yang merasa terkoneksi
atau terhubung dengan orang lain dan mampu menerima dan memberi kasih sayang.
Mereka yang kurang mempunyai kontak sosial dan merasa terisolasi memiliki
risiko lima kali lebih besar atau berpeluang meninggal lebih besar karena kanker.
Sistem kekebalan tubuh kita
sangat peka dengan perasaan kesepian. Sehingga saat kita merasa tidak disayang
atau bisa menyayangi orang lain ada mekanisme dalam tubuh yang terjadi
mempengaruhi sel-sel tubuh. Demikian juga dengan sikap-sikap negatif yang
kerapkali bisa muncul seperti marah, agresif. Semua itu akan memengaruhi atau
menurunkan sistem kekebalan tubuh. Akibatnya kita akan mudah sakit jantung.
Ahli jantung redford Williams dan
istrinya Virginia Williams yang adalah seorang terapis kesehatan menulis dengan
bagus dalam buku berjudul Anger Kills. Bertahun-tahun lamanya mereka melakukan
penelitian dengan cermat di Duke University Medical Shool yang hasilnya
mengatakan bahwa bagian yang mengandung racun dari sindroma Tipe-A bukanlah
perfeksionisme, tekanan waktu atau mengerjakan banyak hal pada saat yang sama,
melainkan sikap sinis karena marah, sikap bermusuhan dan sikap senang
menghakimi.
Bukti-bukti lain rasanya tak
perlu saya sampaikan lagi. Anda pasti bosan karenanya. Yang jelas, selain
secara fisik menjadi sehat, tentu saja jiwa kita akan menjadi tumbuh dan
berkembang karenanya. Kebahagiaan abadi yang bisa kita rasakan saat kita sudah
mati secara fisik sudah bisa kita rasakan dari sekarang.
Coba kita periksa dalam batin
kita masing-masing; apakah yang kita rasakan setelah kita bisa memaafkan orang
lain yang berbuat salah kepada kita? apakah yang kita rasakan setelah kita bisa
membantu orang lain yang kesulitan? apa yang kita rasakan bila kita berani
bicara dan berbuat jujur, adil dan tidak tamak?
Gambaran sederhana tampak ketika
kita menyanyikan lagu-lagu rohani, bersembahyang dengan kusuk, membuat puisi
dan lain sebagainya. Rasa bahagia, senang yang lebih dari sekedar senang akan
menyelimuti hati kita. Energi kehidupan, energi dari Tuhan, semesta
sendiri akan mengalir ketika kita
mencipta, mencinta atau menolong dan mendukung orang lain dengan suatu cara.
Tuhan memberkati.
Amin.
sumber: sesawi.net
sumber: sesawi.net
Minggu, April 09, 2017
AGAMA YANG BENAR (2)
Aneh, saya kok jadi penasaran
dengan agama yang benar dan agama yang tidak benar atau agama yang salah.
Padahal saya sudah sampai pada keyakinan bahwa tidak ada agama yang benar dan
agama yang salah. Yang ada adalah agama yang lebih benar dan agama yang kurang
benar. Karena semua agama pasti memiliki kebenarannya masing-masing.
Agama yang lebih benar adalah agama yang yang menyejarah. Dan sejarah itu tertulis dalam kitab sucinya. Mulai dari kisah penciptaan, bagaimana Tuhan mencipta, bagaimana manusia ciptaannya itu tidak menuruti perintah dari Sang Pencipta. Sampai sebuah agama itu lahir.
Bagaimana manusia berdosa itu tetap dikasihi Tuhan Allah. Bagaimana cara Tuhan mengasihi manusia, dan bagaimana manusia menanggapinya. Bagaimana Tuhan mengirimkan para nabi, agar manusia kembali pada jalan kasih yang dikehendaki-Nya. Kalau manusia tidak paham akan kasih Allah itu, bagaimana ia dapat mengasihi sesamanya. Pastilah hanya kebencian belaka yang akan timbul dari dalam diri manusia itu.
Dengarlah sejarah. Para nabi mengatakan apa, dan kenyataan setelah beratus-ratus tahun kemudian seperti apa dan bagaimana. Agama yang lebih benar adalah agama yang runtut dengan alur sejarah umat manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan manusia lainnya. Bukan secara tiba-tiba agama itu tercipta begitu saja.
Agama yang lebih benar bukan
hanya sekedar mengakui adanya kitab-kitab suci sebelumnya, tetapi sekaligus
juga mengakomodasikan kitab-kitab pendahulunya di dalam kitab sucinya. Dengan
demikian akan nampak alur sejarah lahirnya agama tersebut melalui perjalanan
iman umat manusia.
Kesimpulan saya adalah agama yang lebih benar adalah agama yang dapat membawa umatnya kepada kebaikan universal. Tuhan dalam agama yang lebih benar adalah Tuhan yang dapat dialami oleh penganutnya, karena Tuhan Allah selalu dekat dengan umatnya. Bukan Tuhan yang jauh dan menjauh dari ciptaan-Nya, tetapi Tuhan yang mengasihi ciptaan-Nya, Tuhan yang masuk dalam pengalaman umat manusia, dan karena itu sangat membahagiakan umat-Nya. Kebahagiaan manusia karena relasi yang intim dengan Tuhan itu membawa kedamain hati, kedamaian dengan sesama dan seluruh ciptaan-Nya tanpa kecuali!
Minggu, Maret 26, 2017
Melihat Hati
Karena renungan dari Rm Bayu ini
bagus, maka saya arsipkan dalam blog ini,.
Mohon maaf Romo, karena saya tidak memohon ijin terlebih dahulu...
Catatan Minggu, 26 Maret 2017
HARI MINGGU PRAPASKAH IV
Injil: Yohanes 9:1-41
Syalom aleikhem.
Rev. D. Y. Istimoer Bayu Ajie
Pembaca Alkitab
Mohon maaf Romo, karena saya tidak memohon ijin terlebih dahulu...
Catatan Minggu, 26 Maret 2017
HARI MINGGU PRAPASKAH IV
Injil: Yohanes 9:1-41
Syalom aleikhem.
Saya melihat apa yang tampak, dan saya keliru. Ini
pengalaman saya waktu merayakan Misa perdana di rumah orangtua di Kalasan.
Setelah Misa, umat menyalami saya. Tibalah giliran seorang bapak 50-an yang tak
saya kenal. Agak kumuh bapak itu. Saya terima jabat tangannya dengan sedikit
cuek. Saya tak kenal, kumuh pula dia! Ayah saya berbisik, “Itu pastor paroki
kita.” Oh my God! Romo! Saya telah salah. Saya hanya memandang kulit luar. Dan
saya menyesal. Sejak hari itu saya berjanji dalam hati tidak akan berbuat
demikian lagi.
Orang
cenderung melihat hanya apa yang tampak. Ternyata sikap seperti itu terbukti
sering keliru. Contoh: (1) saya, (2) orang Farisi, (3) Samuel. Kisah saya sudah
anda dengar. Orang Farisi dalam Bacaan Injil melihat hanya yang tampak.
Pandangan mereka meleset. Mereka gagal mengenali Sang Penyelamat. Demikian juga
Samuel dalam Bacaan Pertama. Ia melihat kulit, bukan hati. Dan ia salah pilih.
Ada contoh lain yang saya dengar sendiri. Ini kisah nyata seorang umat. Ia
karyawan baru. Suatu pagi ada orang duduk di kursi kerjanya. Ia langsung
marah-marah. Ternyata yang duduk itu pemilik perusahaan. Besoknya si karyawan
pensiun dini.
Manusia
melihat apa yang tampak, melihat kulit. Tuhan lain, Ia melihat hati. Itulah
cara kerja Tuhan. Kita diajari mengikuti cara kerja Tuhan. Mari kita melihat
hati, bukan melihat kulit. Mari memandang sesama kita dengan “adil”. Artinya,
tidak merendahkan sesama dalam pikiran dan hati. Orang beriman tak akan menilai
sesamanya hanya dari apa yang tampak. Dasarnya ini: jangan-jangan Tuhan
berbicara sesuatu kepada kita lewat sesama yang tampaknya kumuh, cacat, jijay,
dsb.
Dari
Injil kita tahu, Tuhan memakai si pengemis buta untuk memperkenalkan Sang
Juruselamat. Namun, para Farisi tidak mampu melihat hati. Mereka hanya melihat
kulit. “Siapa sih lo? Orang berdosa ngajarin kita!” kata mereka. Dan
selanjutnya mereka gagal memperoleh keselamatan.
Tuhan
menyapa kita lewat aneka peristiwa dalam hidup. Kalau kita salah melihat,
petunjuk Tuhan lewat, dan kita kehilangan keselamatan, kita gagal mengenali
cinta Tuhan. Orang Farisi gagal mengenali Yesus. Saya juga pernah gagal. Sejak
itu, saya memperbaiki diri. Bagaimana dengan Anda?
Rev. D. Y. Istimoer Bayu Ajie
Pembaca Alkitab
Senin, Maret 13, 2017
AGAMA YANG BENAR (1)
Selama hidupnya, manusia (mungkin
terutama manusia di negaraku Indonesia), telah mencapai 1000% dalam upaya dan
usaha membenarkan agamanya sendiri. Agamaku paling benar, dan agama lain itu
salah, atau tidak benar. Tiap detik, menit, jam dan hari hanya membicarakan bahwa
agamaku adalah agama yang paling benar. Benar-benar sudah over-dosis.
Lalu aku merenung, apakah ada
agama yang benar, yang berarti ada agama yang salah? Menurut permenunganku,
semua agama memiliki kebenarannya masing-masing. Mungkin agama ini lebih benar
dan agama itu kurang benar dari sisi-sisi tertentu.
Agama-agama itu memiliki
keyakinan akan Tuhan Allah. Yaitu Allah yang dibahasakan manusia. Apakah bahasa
manusia itu mumpuni untuk Allah, pasti tidak. Bahasa manusia itu tidak
sempurna, karena manusianya tidak sempurna. Bagaimana mungkin manusia yang
serba terbatas ini akan membahasakan Tuhan yang maha sempurna, yang tidak
terbatas?
Agama boleh mengklaim tentang
wahyu Allah. Apakah Allah dalam mewahyukan diri-Nya menggunakan bahasa-Nya
sendiri, bahasa Allah? Dalam mewahyukan diri kepada manusia, Allah pasti
menggunakan bahasa manusia, supaya manusia dapat mengerti. Akan tetapi oleh
karena bahasa manusia itu terbatas, maka tidak mungkin manusia menangkap
realitas Allah seutuhnya, 100%! Tidak mungkin Allah mewahyukan realitas
seutuhnya dari diri-Nya dengan hanya melalui bahasa manusia?
Jadi, bolehkah manusia
menyombongkan diri memiliki agama yang benar dan menyalahkan manusia lain
sebagai pemeluk agama yang tidak benar? Tentu saja tidak boleh! Manusia hanya
bisa menangkap sebagian kecil dari realitas Allah.
Kesimpulanku sementara adalah,
agama yang lebih benar (bukan agama yang benar) adalah agama yang mampu
menangkap lebih banyak wahyu Allah melalui pengalaman dirinya dalam hubungannya
dengan Allah di dalam sejarah manusia itu sendiri. Kebenaran agama tidak dapat
dibuktikan, tapi dialami. Ia berhubungan erat dengan pengalaman. Pengalaman
iman persisnya.
Pengalaman itu adalah pengalaman
manusia, terutama dalam hubungannya dengan manusia lain dan dengan Allah. Bagaimana
manusia bisa mengalami Allah, padahal Allah itu tak terbatas? Pewahyuan diri
Allah hanya bisa ditangkap dengan jelas (tidak bisa seutuhnya!) bila Ia sendiri
hadir di tengah-tengah umat-Nya!
Nah, lo….
Langganan:
Postingan (Atom)