Senin, Maret 13, 2017

AGAMA YANG BENAR (1)


Selama hidupnya, manusia (mungkin terutama manusia di negaraku Indonesia), telah mencapai 1000% dalam upaya dan usaha membenarkan agamanya sendiri. Agamaku paling benar, dan agama lain itu salah, atau tidak benar. Tiap detik, menit, jam dan hari hanya membicarakan bahwa agamaku adalah agama yang paling benar. Benar-benar sudah over-dosis.

Lalu aku merenung, apakah ada agama yang benar, yang berarti ada agama yang salah? Menurut permenunganku, semua agama memiliki kebenarannya masing-masing. Mungkin agama ini lebih benar dan agama itu kurang benar dari sisi-sisi tertentu.

Agama-agama itu memiliki keyakinan akan Tuhan Allah. Yaitu Allah yang dibahasakan manusia. Apakah bahasa manusia itu mumpuni untuk Allah, pasti tidak. Bahasa manusia itu tidak sempurna, karena manusianya tidak sempurna. Bagaimana mungkin manusia yang serba terbatas ini akan membahasakan Tuhan yang maha sempurna, yang tidak terbatas?

Agama boleh mengklaim tentang wahyu Allah. Apakah Allah dalam mewahyukan diri-Nya menggunakan bahasa-Nya sendiri, bahasa Allah? Dalam mewahyukan diri kepada manusia, Allah pasti menggunakan bahasa manusia, supaya manusia dapat mengerti. Akan tetapi oleh karena bahasa manusia itu terbatas, maka tidak mungkin manusia menangkap realitas Allah seutuhnya, 100%! Tidak mungkin Allah mewahyukan realitas seutuhnya dari diri-Nya dengan hanya melalui bahasa manusia?

Jadi, bolehkah manusia menyombongkan diri memiliki agama yang benar dan menyalahkan manusia lain sebagai pemeluk agama yang tidak benar? Tentu saja tidak boleh! Manusia hanya bisa menangkap sebagian kecil dari realitas Allah.

Kesimpulanku sementara adalah, agama yang lebih benar (bukan agama yang benar) adalah agama yang mampu menangkap lebih banyak wahyu Allah melalui pengalaman dirinya dalam hubungannya dengan Allah di dalam sejarah manusia itu sendiri. Kebenaran agama tidak dapat dibuktikan, tapi dialami. Ia berhubungan erat dengan pengalaman. Pengalaman iman persisnya.

Pengalaman itu adalah pengalaman manusia, terutama dalam hubungannya dengan manusia lain dan dengan Allah. Bagaimana manusia bisa mengalami Allah, padahal Allah itu tak terbatas? Pewahyuan diri Allah hanya bisa ditangkap dengan jelas (tidak bisa seutuhnya!) bila Ia sendiri hadir di tengah-tengah umat-Nya!

Nah, lo….

Tidak ada komentar: