Minggu, Maret 26, 2017

Melihat Hati

Karena renungan dari Rm Bayu ini bagus, maka saya arsipkan dalam blog ini,
Mohon maaf Romo, karena saya tidak memohon ijin terlebih dahulu...

Catatan Minggu, 26 Maret 2017
HARI MINGGU PRAPASKAH IV
Injil: Yohanes 9:1-41


Syalom aleikhem.
 
Saya melihat apa yang tampak, dan saya keliru. Ini pengalaman saya waktu merayakan Misa perdana di rumah orangtua di Kalasan. Setelah Misa, umat menyalami saya. Tibalah giliran seorang bapak 50-an yang tak saya kenal. Agak kumuh bapak itu. Saya terima jabat tangannya dengan sedikit cuek. Saya tak kenal, kumuh pula dia! Ayah saya berbisik, “Itu pastor paroki kita.” Oh my God! Romo! Saya telah salah. Saya hanya memandang kulit luar. Dan saya menyesal. Sejak hari itu saya berjanji dalam hati tidak akan berbuat demikian lagi.
 
Orang cenderung melihat hanya apa yang tampak. Ternyata sikap seperti itu terbukti sering keliru. Contoh: (1) saya, (2) orang Farisi, (3) Samuel. Kisah saya sudah anda dengar. Orang Farisi dalam Bacaan Injil melihat hanya yang tampak. Pandangan mereka meleset. Mereka gagal mengenali Sang Penyelamat. Demikian juga Samuel dalam Bacaan Pertama. Ia melihat kulit, bukan hati. Dan ia salah pilih. Ada contoh lain yang saya dengar sendiri. Ini kisah nyata seorang umat. Ia karyawan baru. Suatu pagi ada orang duduk di kursi kerjanya. Ia langsung marah-marah. Ternyata yang duduk itu pemilik perusahaan. Besoknya si karyawan pensiun dini.
Manusia melihat apa yang tampak, melihat kulit. Tuhan lain, Ia melihat hati. Itulah cara kerja Tuhan. Kita diajari mengikuti cara kerja Tuhan. Mari kita melihat hati, bukan melihat kulit. Mari memandang sesama kita dengan “adil”. Artinya, tidak merendahkan sesama dalam pikiran dan hati. Orang beriman tak akan menilai sesamanya hanya dari apa yang tampak. Dasarnya ini: jangan-jangan Tuhan berbicara sesuatu kepada kita lewat sesama yang tampaknya kumuh, cacat, jijay, dsb.

Dari Injil kita tahu, Tuhan memakai si pengemis buta untuk memperkenalkan Sang Juruselamat. Namun, para Farisi tidak mampu melihat hati. Mereka hanya melihat kulit. “Siapa sih lo? Orang berdosa ngajarin kita!” kata mereka. Dan selanjutnya mereka gagal memperoleh keselamatan.
 

Tuhan menyapa kita lewat aneka peristiwa dalam hidup. Kalau kita salah melihat, petunjuk Tuhan lewat, dan kita kehilangan keselamatan, kita gagal mengenali cinta Tuhan. Orang Farisi gagal mengenali Yesus. Saya juga pernah gagal. Sejak itu, saya memperbaiki diri. Bagaimana dengan Anda?

Rev. D. Y. Istimoer Bayu Ajie
Pembaca Alkitab

Senin, Maret 13, 2017

AGAMA YANG BENAR (1)


Selama hidupnya, manusia (mungkin terutama manusia di negaraku Indonesia), telah mencapai 1000% dalam upaya dan usaha membenarkan agamanya sendiri. Agamaku paling benar, dan agama lain itu salah, atau tidak benar. Tiap detik, menit, jam dan hari hanya membicarakan bahwa agamaku adalah agama yang paling benar. Benar-benar sudah over-dosis.

Lalu aku merenung, apakah ada agama yang benar, yang berarti ada agama yang salah? Menurut permenunganku, semua agama memiliki kebenarannya masing-masing. Mungkin agama ini lebih benar dan agama itu kurang benar dari sisi-sisi tertentu.

Agama-agama itu memiliki keyakinan akan Tuhan Allah. Yaitu Allah yang dibahasakan manusia. Apakah bahasa manusia itu mumpuni untuk Allah, pasti tidak. Bahasa manusia itu tidak sempurna, karena manusianya tidak sempurna. Bagaimana mungkin manusia yang serba terbatas ini akan membahasakan Tuhan yang maha sempurna, yang tidak terbatas?

Agama boleh mengklaim tentang wahyu Allah. Apakah Allah dalam mewahyukan diri-Nya menggunakan bahasa-Nya sendiri, bahasa Allah? Dalam mewahyukan diri kepada manusia, Allah pasti menggunakan bahasa manusia, supaya manusia dapat mengerti. Akan tetapi oleh karena bahasa manusia itu terbatas, maka tidak mungkin manusia menangkap realitas Allah seutuhnya, 100%! Tidak mungkin Allah mewahyukan realitas seutuhnya dari diri-Nya dengan hanya melalui bahasa manusia?

Jadi, bolehkah manusia menyombongkan diri memiliki agama yang benar dan menyalahkan manusia lain sebagai pemeluk agama yang tidak benar? Tentu saja tidak boleh! Manusia hanya bisa menangkap sebagian kecil dari realitas Allah.

Kesimpulanku sementara adalah, agama yang lebih benar (bukan agama yang benar) adalah agama yang mampu menangkap lebih banyak wahyu Allah melalui pengalaman dirinya dalam hubungannya dengan Allah di dalam sejarah manusia itu sendiri. Kebenaran agama tidak dapat dibuktikan, tapi dialami. Ia berhubungan erat dengan pengalaman. Pengalaman iman persisnya.

Pengalaman itu adalah pengalaman manusia, terutama dalam hubungannya dengan manusia lain dan dengan Allah. Bagaimana manusia bisa mengalami Allah, padahal Allah itu tak terbatas? Pewahyuan diri Allah hanya bisa ditangkap dengan jelas (tidak bisa seutuhnya!) bila Ia sendiri hadir di tengah-tengah umat-Nya!

Nah, lo….