Minggu, Desember 07, 2008

TINGGINYA AROGANSI 2


Tingginya Arogansi 2 tiba-tiba saja ingin aku tuliskan.

Betapa tidak! Karena semakin tinggi arogansi seseorang, sebenarnya semakin NOL nilai kemanusiaannya!


Setiap orang memiliki sifat ini, cuma kadar tinggi-rendahnya berbeda. Biasanya orang yang merasa bahwa dirinya “punya”, ia menjadi sombong, atau menyombongkan diri, atau memamerkan bahwa dirinya “punya”. Dan semakin merasa bahwa ke-”punya”-annya itu besar, atau banyak, ia menjadi lebih sombong, atau lebih menyombongkan diri, atau lebih pamer. Itulah yang aku maksud sebagai kadar tinggi-rendahnya arogansi.


Temanku yang memiliki arogansi tinggi itu ternyata karena ia merasa “punya”, padahal itu hanya perasaannya saja. Banyak orang lain (bukan hanya aku) melihat, bahwa yang “punya” itu adalah isteri dan anaknya. Memang isteri dan anaknya menjadi “punya” sedikit-banyak karena dirinya. Tetapi sebenarnya ia tak “punya” apa-apa. Orang menjadi iba melihat dirinya. Ia kosong melompong.


Dosen yang tinggi sekali arogansinya itu juga karena ia merasa “punya” banyak. Padahal ia tak “punya” apa-apa. Yang “punya” adalah institusinya, Unpar. Dia menjadi dosen yang dikenal dan laku di beberapa universitas lain karena ia lulus dan menjadi dosen tetap di Unpar. Bayangkan kalau dia menjadi lulusan dan dosen tetap Uninus, misalnya. Apakah ia bisa setenar ini? Atau bila ia sama sekali tidak mengajar di Unpar, masihkan ia dapat menyombongkan diri di sini?


Unpar memiliki gengsi dan arogansi tinggi juga karena merasa “punya” banyak. Tetapi ia lupa bahwa “punya”-nya itu karena telah dipunguti oleh para founding-father dari tahun 1955. Setelah para pendiri tiada, masihkah sesuatu dipunguti? Mengapa ia sekarang menjadi sombong? Jangan-jangan karena sekarang Unpar telah tidak “punya” apa-apa lagi, kecuali kesombongan. Ke-”punya”-annya itu tetap dari sejak dulu, dan tidak bertambah dari waktu ke waktu, sehingga ditinggalkan oleh universitas lain yang lebih “punya” sesuatu. Ia menjadi bagaikan katak dalam tempurung.


Ada lagi saudaraku yang merasa “punya” segalanya. Ia merasa “punya” hak banyak, sebagai anak, sebagai kakak, sebagai adik, sebagai laki-laki, sebagai ayah, sebagai suami, sebagai yang lain-lain. Ia juga merasa “punya” sesuatu. Ia merasa “punya” uang, rumah, kendaraan, fasilitas. Dan semua perasaan “punya” itu disombong-sombongkan. Ia menjadi angkuh. Tetapi sebenarnya ia tak “punya”apa-apa. Yang “punya” adalah saudara-saudaranya, isterinya, orang-tuanya. Ketika ia menyombongkan diri, saudara-saudarinya melihat sebagai bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Semakin ia congkak, bersamaan dengan itu ia semakin rendah dan nilainya di bawah NOL. Aku sangat kasihan padanya.


Orang-orang yang memiliki arogansi tinggi menolak realitas. Mereka tidak mampu melihat dirinya. Ia tidak mampu melihat dunianya. Tanpa disadari, ia menjadi orang lain yang “punya”. Ia tidak pernah menjadi dirinya sendiri. Ia kehilangan diri. Ia tidak ngrumangsani. Dan orang lain mengelus dada, iba melihatnya.


Salam


1 komentar:

Justine mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.